Jumat, 24 Juni 2011

Pengertian Pendidikan

Pendidikan berasal dari kata pedagogi (paedagogie, Bahasa Latin) yang berarti pendidikan dan kata pedagogia (paedagogik) yang berarti ilmu pendidikan yang berasal dari bahasa Yunani. Pedagogia terdiri dari dua kata yaitu ‘Paedos’ (anak, pen) dan ‘Agoge’ yang berarti saya membimbing, memimpin anak. Sedangkan paedagogos ialah seorang pelayan atau bujang (pemuda, pen) pada zaman Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak (siswa, pen) ke dan dari sekolah. Perkataan paedagogos yang semula berkonotasi rendah (pelayan, pembantu) ini, kemudian sekarang dipakai untuk nama pekerjaan yang mulia yakni paedagoog (pendidik atau ahli didik atau guru). Dari sudut pandang ini pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang dalam membimbing dan memimpin anak menuju ke pertumbuhan dan perkembangan secara optimal agar dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab.

Pendidikan berkaitan erat dengan segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan manusia mulai perkembangan fisik, kesehatan keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial, sampai kepada perkembangan Iman. Perkembangan ini mengacu kepada membuat manusia menjadi lebih sempurna, membuat manusia meningkatkan hidupnya dan kehidupan alamiah menjadi berbudaya dan bermoral.

Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, Rupert C. Lodge dalam bukunya Philosophy of Education (New York : Harer & Brothers. 1974 : 23) menyatakan bahwa dalam pengertian yang luas pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Namun faktanya bahwa tidak semua pengalaman dapat dikatakan pendidikan. Mencuri, mencopet, korupsi dan membolos misalnya, bagi orang yang pernah melakukannya tentunya memiliki sejumlah pengalaman, tetapi pengalaman itu tidak dapat dikatakan pendidikan. Karena pendidikan itu memiliki tujuan yang mulia, baik dihadapan manusia maupun dihadapan Tuhan.

Banyak rumusan pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya:

a. John Dewey : pendidikan merupakan suatu proses pembentukan kecakapan mendasar secara intelektual dan emosional sesama manusia.

b. JJ. Rouseau : Pendidikan merupakan pemberian bekal kepada kita apa yang tidak kita butuhkan pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita butuhkan pada saat dewasa.

c. M. J. Langeveld : Pendidikan merupkan setiap usaha yang dilakukan untuk mempengaruhi dan membimbing anak ke arah kedewasaan, agar anak cekatan melaksanakan tugas hidupnya sendiri.

Menurut Langeveld pendidikan hanya berlangsung dalam suasana pergaulan antara orang yang sudah dewasa (atau yang diciptakan orang dewasa seperti : sekolah, buku model dan sebagainya) dengan orang yang belum dewasa yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan.

d. John S. Brubacher : Pendidikan merupakan proses timbal balik dari tiap individu manusia dalam rangka penyesuaian dirinya dengan alam, dengan teman dan dengan alam semesta.

e. Kingsley Price mengemukakan: Education is the process by which the nonphysical possessions of culture are preserved or increased in the rearing of the young or in the instruction of adults. (Pendidikan adalah proses yang berbentuk non pisik dari unsur-unsur budaya yang dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh anak-anak muda atau dalam pembelajaran orang dewasa).

f. Mortimer J. Adler : pendidikan adalah proses dimana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapa pun untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan, yaitu kebiasaan yang baik.

Definisi di atas dapat dibuktikan kebenarannya oleh filsafat pendidikan, terutama yang menyangkut permasalahan hidup manusia, dengan kemampuan-kemampuan asli dan yang diperoleh atau tentang bagaimana proses mempengaruhi perkembangannya harus dilakukan. Suatu pandangan atau pengertian tentang hal-hal yang berkaitan dengan objek pembahasan menjadi pola dasar yang memberi corak berpikir ahli pikir yang bersangkutan. Bahkan arahnya pun dapat dikenali juga.

Dari berbagai pandangan di atas dapat dilihat bahwa dikalangan pakar pendidikan sendiri masih terdapat perbedaan-perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan oleh latar belakang pendidikan ahli pendidikan itu dan kondisi pendidikan yang diperbincangkan saat itu, yang semuanya memiliki perbedaan karakter dan permasalahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan terencana (bertahap) dalam meningkatkan potensi diri peserta didik dalam segala aspeknya menuju terbentuknva kepribadian dan aĆ³laq mulia dengan menggunakan media dan metode pembelajaran yang tepat guna melaksanakan tugas hidupnya sehingga dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

ISTILAH HUKUM DALAM ILMU TAJWID

Didalam ilmu tajwid terdapat juga istilah hukum lazim, wajib, haram, dan jaiz seperti dalam fiqih. Apakah istilah-istilah ini juga mempunya sangsi atau akibat hukum seperti dalam hukum fiqih atau ia hanya merupakan istilah saja dikalangan ahli tajwid (shina’iy) sehingga tidak berakibat pahala dan dosa. Dalam hal ini ulama berselisih pendapat sebagai berikut :
Ulama Mutaqaddimin berpendapat bahwa semua istilah hukum dalam tajwid adalah berakibat syar’I, berpahala bagi yang melaksanakan dan berdosa bagi yang melakukan pelanggaran. Dengan demikian setiap kesalahan baik dalam kelompok jaliy maupun yang khofiy membawa akibat haram syar’i. alasan yang dikemukakan adalah bahwa perintah Allah tentang membaca Al Quran dengan tartil mengandung hukum wajib, oleh karena itu semua peraturan yang mengatur tentang tata cara mentajwidkan Al Quran termasuk dalam perintah wajib.
Ulama Muta’akhirin berpendapat bahwa akibat hukum dalam ilmu tajwid itu terbagi dua, ada yang berakibat syar’I dan adapula yang shina’I, apabila menyangkut pemeliharaan bentuk huruf atau harakat hingga tidak merubah bunyi suara atau merusak makna, maka disebutkan dengan wajib syar’I, pelanggarannya disebut haram syar’i. Tetapi apabila menyangkut bidang pemeliharaan ketentuan hukum lain,  seperti wajib idgham, wajib mad dan sebagainya, maka masuk dalam wajib shina’i. Pendapat ini cenderung menjadikan kelompok kesalahan yang jelas sebagai haram syar’I dan kesalahan samar sebagai haram shina’i.
Imam Ibnu Ghozi pada prinsipnya memberikan pendapat yang sama dengan Muta’akhirin, hanya berbeda dalam memberikan klasifikasinya. Menurut beliau yang masuk wajib syar’I adalah apabila menyangkut semua ketentuan hukum yang disepakati oleh ahli Qiraat. Sebaliknya apabila tidak terdapat kesepakatan dalam menggunakan ketentuan waqaf atau karena mengikuti petunjuk guru, sepanjang ada keyakinan tentang kebenarannya, maka termasuk wajib shina’i.
Dari ketiga pendapat diatas, pendapat Muta’akhirin yang lebih cocok diterapkan. Menetapkan semua ketentuan tajwid menjadi syar’I jelas bukan suatu hal yang mudah diterapkan oleh umat islam. Pendapat Ibnu Ghozi yang cukup terperinci itupun masih terlalu berat, karena untuk dapat mengetahui mana ketentuan yang disepakati dan mana yang tidak tentu memerlukan pengetahuan yang cukup jelas. Oleh karena itu lebih tepat pendapat Muta’akhirin yang menganggap ketentuan-ketentuan yang bukan termamsuk kesalahan jali, bagi pelanggarnya adalah shina’I yang tidak berakibat dosa, tetapi hanya cacat menurut dunia Qiraat. Walaupun sangsi syara’ tidak ada, tapi bagi seorang qari’ yang dikenal telah berilmu, sangsi cacat atau aib sudah cukup berat. Disamping itu tidak juga terlalu menakutkan bagi masyarakat awam untuk membaca Al Quran.

Sejarah Pemberian Tanda Baca dan Tajwid

Tentu, tak bisa dibayangkan bagaimana sulitnya membaca Alquran andai hingga saat ini kalam Ilahi itu masih ditulis dalam huruf Arab yang belum ada tanda bacanya sebagaimana di zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin.
Jangankan harakat fathah (baris atas), kasrah (baris bawah), dhommah (baris depan), dan sukun (tanda wakaf, mati), bentuk serta tanda titik-koma (tanda baca) saja tidak ada. Tentu, masih lebih mudah membaca tulisan Arab yang ada di kitab kuning yang gundul (tanpa harakat) karena umat Islam masih bisa mengenali huruf-hurufnya berdasarkan bentuk dan tanda bacanya. Misalnya, huruf ta, tsa, ba, nun, syin, sin, shad, tho’, dan sebagainya walaupun tidak mengetahui terjemahannya.
Beruntunglah, kekhawatiran-kekhawatiran ini cepat teratasi hingga umat Islam di seluruh dunia bisa mengenali dan lebih mudah dalam membaca Alquran. Semua itu tentunya karena adanya peran dari sahabat Rasul, tabin, dan tabiit tabiin.Pemberian tanda baca (syakal) berupa titik dan harakat (baris) baru mulai dilakukan ketika Dinasti Umayyah memegang tampuk kekuasaan kekhalifahan Islam atau setelah 40 tahun umat Islam membaca Alquran tanpa ada syakal.
Pemberian titik dan baris pada mushaf Alquran ini dilakukan dalam tiga fase. Pertama, pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Saat itu, Muawiyah menugaskan Abdul Aswad Ad-dawly untuk meletakkan tanda baca (i’rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.
Fase kedua, pada masa Abdul Malik bin Marwan (65 H), khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan salah seorang gubernur pada masa itu, Al Hajjaj bin Yusuf, untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya. Misalnya, huruf baa’ dengan satu titik di bawah, huruf ta dengan dua titik di atas, dan tsa dengan tiga titik di atas. Pada masa itu, Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin ‘Ashim dan Hay bin Ya’mar.
Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ini, wilayah kekuasaan Islam telah semakin luas hingga sampai ke Eropa. Karena kekhawatiran adanya bacaan Alquran bagi umat Islam yang bukan berbahasa Arab, diperintahkanlah untuk menuliskan Alquran dengan tambahan tanda baca tersebut. Tujuannya agar adanya keseragaman bacaan Alquran baik bagi umat Islam yang keturunan Arab ataupun non-Arab (‘ajami).
Baru kemudian, pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris berupa dhamah, fathah, kasrah, dan sukun untuk memperindah dan memudahkan umat Islam dalam membaca Alquran. Pemberian tanda baris ini mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy, seorang ensiklopedi bahasa Arab terkemuka kala itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin Ahmad juga yang memberikan tanda hamzah, tasydid, dan ismam pada kalimat-kalimat yang ada.
Kemudian, pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal Alquran, khususnya bagi orang selain Arab, dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa isymam, rum, dan mad.
Sebagaimana mereka juga membuat tanda lingkaran bulat sebagai pemisah ayat dan mencantumkan nomor ayat, tanda-tanda wakaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri atas nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain.
Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Alquran adalah tajzi’, yaitu tanda pemisah antara satu Juz dan yang lainnya, berupa kata ‘juz’ dan diikuti dengan penomorannya dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah juz, dan juz itu sendiri.
Dengan adanya tanda-tanda tersebut, kini umat Islam di seluruh dunia, apa pun ras dan warna kulit serta bahasa yang dianutnya, mereka mudah membaca Alquran. Ini semua berkat peran tokoh-tokoh di atas dalam membawa umat menjadi lebih baik, terutama dalam membaca Alquran.dia/sya/berbagai sumber
Pemeliharaan Alquran dari Masa ke Masa
Dalam Alquran surah Al-Hijr (15) ayat 9, Allah berfirman, ”Sesungguhnya, Kami-lah yang menurunkan Alquran dan Kami pula yang menjaganya.” Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Alquran selama-lamanya hingga akhir zaman dari pemalsuan. Karena itu, banyak umat Islam, termasuk di zaman Rasulullah SAW, yang hafal Alquran. Dengan adanya umat yang hafal Alquran, Alquran pun akan senantiasa terjaga hingga akhir zaman.
Selanjutnya, demi memudahkan umat membaca Alquran dengan baik, mushaf Alquran pun dicetak sebanyak-banyaknya setelah melalui tashih (pengesahan dari ulama-ulama yang hafal Alquran). Alquran pertama kali dicetak pada tahun 1530 Masehi atau sekitar abad ke-10 H di Bundukiyah (Vinece). Namun, kekuasaan gereja memerintahkan agar Alquran yang telah dicetak itu dibasmi. Kemudian, Hankelman mencetak Alquran di Kota Hamburg (Jerman) pada tahun 1694 M atau sekitar abad ke-12 H. (Lihat RS Abdul Aziz, Tafsir Ilmu Tafsir, 1991: 49). Kini, Alquran telah dicetak di berbagai negara di dunia.
Pemeliharaan Alquran tak berhenti sampai di situ. Di sejumlah negara, didirikan lembaga pendidikan yang dikhususkan mempelajari Ulum Alquran (ilmu-ilmu tentang Alquran). Salah satu materi pelajaran yang diajarkan adalah hafalan Alquran. Di Indonesia, terdapat banyak lembaga pendidikan yang mengajak penuntut ilmu ini untuk menghafal Alquran, mulai dari pendidikan tinggi, seperti Institut Ilmu Alquran (IIQ) hingga pesantren yang mengkhususkan santrinya menghafal Alquran, di antaranya Pesantren Yanbuul Quran di Kudus (Jateng).
Demi memotivasi umat untuk meningkatkan hafalannya, kini diselenggarakan Musabaqah Hifzhil Quran (MHQ), dari tingkatan satu juz, lima juz, 10 juz, hingga 30 juz. ”Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya.” (HR Bukhari). Adanya lembaga penghafal Alquran ini maka kemurnian dan keaslian Alquran akan senantiasa terjaga hingga akhir zaman. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, para penghafal Alquran ini akan ditempatkan di surga. Wa Allahu A’lam.
Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), Alquran berasal dari bahasa Arab yang berarti bacaan atau sesuatu yang dibaca berulang-ulang. Kata ‘Alquran’ adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja (fi’il madli) qaraa yang artinya membaca.
Para pakar mendefinisikan Alquran sebagai kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir dan bagi orang yang membacanya termasuk ibadah. Al-Qur’anu huwa al-kitabu al-Mu’jiz al-Munazzalu ‘ala Muhammadin bi wasithah sam’in aw ghairihi aw bilaa wasithah.
Ada juga yang mendefinisikannya sebagai firman Allah yang tiada tandingannya. Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, penutup para Nabi dan Rasul, dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir yang dimulai dengan surat Alfatihah dan ditutup dengan surat Annas.
Alquran terdiri atas 114 surat serta 30 juz dengan jumlah ayat lebih dari 6.000 ayat. Kalangan ulama masih berbeda pendapat mengenai jumlah ayat Alquran. Ada yang menyebutkan jumlahnya sebanyak 6.236 ayat, 6.666 ayat, 6.553 ayat, dan sebagainya. Perbedaan penghitungan jumlah ayat ini karena banyak ulama yang belum sepakat apakah kalimat Bismillahirrahmanirrahim yang ada di pembukaan surah dan huruf Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Yaa Sin, Shad, dan Qaaf termasuk ayat atau bukan. Inilah yang menyebabkan adanya perbedaan mengenai jumlah ayat. Namun demikian, hal itu tidak menimbulkan perpecahan di antara umat.
Alquran diturunkan secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Para ulama membagi masa penurunan ini menjadi dua periode, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah berlangsung selama 13 tahun masa kenabian Rasulullah SAW. Sementara itu, periode Madinah dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun.
Sedangkan, menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi kepada surat-surat Makkiyah (ayat-ayat Alquran yang turun di Makkah) dan Madaniyah (diturunkan di Madinah). Surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah, sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah.
Sementara itu, dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada dalam Alquran terbagi menjadi empat bagian. Pertama, As-Sab’u al-Thiwaal (tujuh surat yang panjang), yaitu Albaqarah, Ali Imran, Annisa’, Al A’raf, Al An’am, Almaidah, dan Yunus. Kedua, surat-surat yang memiliki seratus ayat lebih (Al Miuun), seperti surat Hud, Yusuf, Mu’min, dan sebagainya.
Ketiga, surat-surat yang jumlah ayatnya kurang dari seratus ayat (Al Matsaani), seperti surat  Al Anfal, Alhijr, dan sebagainya. Keempat, surat-surat pendek (Al-Mufashshal), seperti surat Adhdhuha, Al Ikhlas, Alfalaq, Annas, dan sebagainya.

Copy dari : http://dinrip.blog.com/2010/04/20/sejarah-pemberian-tanda-baca-dan-tajwid/