Jumat, 24 Juni 2011

ISTILAH HUKUM DALAM ILMU TAJWID

Didalam ilmu tajwid terdapat juga istilah hukum lazim, wajib, haram, dan jaiz seperti dalam fiqih. Apakah istilah-istilah ini juga mempunya sangsi atau akibat hukum seperti dalam hukum fiqih atau ia hanya merupakan istilah saja dikalangan ahli tajwid (shina’iy) sehingga tidak berakibat pahala dan dosa. Dalam hal ini ulama berselisih pendapat sebagai berikut :
Ulama Mutaqaddimin berpendapat bahwa semua istilah hukum dalam tajwid adalah berakibat syar’I, berpahala bagi yang melaksanakan dan berdosa bagi yang melakukan pelanggaran. Dengan demikian setiap kesalahan baik dalam kelompok jaliy maupun yang khofiy membawa akibat haram syar’i. alasan yang dikemukakan adalah bahwa perintah Allah tentang membaca Al Quran dengan tartil mengandung hukum wajib, oleh karena itu semua peraturan yang mengatur tentang tata cara mentajwidkan Al Quran termasuk dalam perintah wajib.
Ulama Muta’akhirin berpendapat bahwa akibat hukum dalam ilmu tajwid itu terbagi dua, ada yang berakibat syar’I dan adapula yang shina’I, apabila menyangkut pemeliharaan bentuk huruf atau harakat hingga tidak merubah bunyi suara atau merusak makna, maka disebutkan dengan wajib syar’I, pelanggarannya disebut haram syar’i. Tetapi apabila menyangkut bidang pemeliharaan ketentuan hukum lain,  seperti wajib idgham, wajib mad dan sebagainya, maka masuk dalam wajib shina’i. Pendapat ini cenderung menjadikan kelompok kesalahan yang jelas sebagai haram syar’I dan kesalahan samar sebagai haram shina’i.
Imam Ibnu Ghozi pada prinsipnya memberikan pendapat yang sama dengan Muta’akhirin, hanya berbeda dalam memberikan klasifikasinya. Menurut beliau yang masuk wajib syar’I adalah apabila menyangkut semua ketentuan hukum yang disepakati oleh ahli Qiraat. Sebaliknya apabila tidak terdapat kesepakatan dalam menggunakan ketentuan waqaf atau karena mengikuti petunjuk guru, sepanjang ada keyakinan tentang kebenarannya, maka termasuk wajib shina’i.
Dari ketiga pendapat diatas, pendapat Muta’akhirin yang lebih cocok diterapkan. Menetapkan semua ketentuan tajwid menjadi syar’I jelas bukan suatu hal yang mudah diterapkan oleh umat islam. Pendapat Ibnu Ghozi yang cukup terperinci itupun masih terlalu berat, karena untuk dapat mengetahui mana ketentuan yang disepakati dan mana yang tidak tentu memerlukan pengetahuan yang cukup jelas. Oleh karena itu lebih tepat pendapat Muta’akhirin yang menganggap ketentuan-ketentuan yang bukan termamsuk kesalahan jali, bagi pelanggarnya adalah shina’I yang tidak berakibat dosa, tetapi hanya cacat menurut dunia Qiraat. Walaupun sangsi syara’ tidak ada, tapi bagi seorang qari’ yang dikenal telah berilmu, sangsi cacat atau aib sudah cukup berat. Disamping itu tidak juga terlalu menakutkan bagi masyarakat awam untuk membaca Al Quran.

0 komentar:

Posting Komentar