Tampilkan postingan dengan label Kajian Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kajian Islam. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 02 Juli 2011

HAJI

Oleh M. Quraish Shihab
 
Memahami  makna  ibadah  haji,  membutuhkan  pemahaman  secara
khusus    sejarah   Nabi   Ibrahim   dan   ajarannya,   karena
praktek-praktek   ritual   ibadah   ini    dikaitkan    dengan
pengalaman-pengalaman  yang  dialami  Nabi Ibrahim as. bersama
keluarga beliau.  Ibrahim  as.  dikenal  sebagai  "Bapak  para
Nabi",  juga  "Bapak monotheisme," serta "proklamator keadilan
Ilahi" kepada beliaulah merujuk  agama-agama  samawi  terbesar
selama ini.
 
Para  ilmuwan  seringkali  berbicara tentang penemuan-penemuan
manusia yang mempengaruhi atau bahkan merubah jalannya sejarah
kemanusiaan. Tapi seperti tulis al-Akkad,
 
"Penemuan  yang  dikaitkan  dengan  Nabi Ibrahim as. merupakan
penemuan manusia yang terbesar dan yang  tak  dapat  diabaikan
para  ilmuwan atau sejarawan, ia tak dapat dibandingkan dengan
penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom  betapa
pun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut, ... yang itu
dikuasai manusia, sedangkan penemuan  Ibrahim  menguasai  jiwa
dan  raga  manusia.  Penemuan  Ibrahim menjadikan manusia yang
tadinya tunduk pada alam, menjadi mampu menguasai alam,  serta
menilai  baik  buruknya, penemuan yang itu dapat menjadikannya
berlaku  sewenang-wenang,  tapi  kesewenang-wenangan  ini  tak
mungkin  dilakukannya  selama  penemuan  Ibrahim as. itu tetap
menghiasi jiwanya ... penemuan tersebut berkaitan  dengan  apa
yang   diketahui   dan   tak  diketahuinya,  berkaitan  dengan
kedudukannya sebagai makhluk dan hubungan makhluk  ini  dengan
Tuhan, alam raya dan makhluk-makhluk sesamanya ..."
 
"Kepastian" yang dibutuhkan ilmuwan menyangkut hukum-hukum dan
tata kerja alam ini, tak dapat  diperolehnya  kecuali  melalui
keyakinan  tentang  ajaran  Bapak  monotheisme itu, karena apa
yang dapat menjamin kepastian tersebut jika sekali  Tuhan  ini
yang  mengaturnya  dan di lain kali tuhan itu? Dengan demikian
monoteisme Ibrahim as. bukan sekedar  hakikat  keagamaan  yang
besar,  tapi  sekaligus penunjang akal ilmiah manusia sehingga
lebih tepat, lebih  teliti  lagi,  lebih  meyakinkan.  Apalagi
Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim as. bukan sekedar tuhan suku,
bangsa  atau  golongan  tertentu  manusia,  tapi  Tuhan   seru
sekalian  alam,  Tuhan  yang imanen sekaligus transenden, yang
dekat  dengan   manusia,   menyertai   mereka   semua   secara
keseluruhan  dan  orang per orang, sendirian atau ketika dalam
kelompok, pada saat diam atau bergerak, tidur atau jaga,  pada
saat  kehidupannya,  bahkan  sebelum dan sesudah kehidupan dan
kematiannya.  Bukannya  Tuhan   yang   sifat-sifat-Nya   hanya
monopoli  pengetahuan para pemuka agama, atau yang hanya dapat
dihubungi  mereka,  tapi  Tuhan  manusia   seluruhuya   secara
universal.
 
Ajaran   Ibrahim   as.   atau  "penemuan"  beliau  benar-benar
merupakan suatu lembaran baru dalam  sejarah  kepercayaan  dan
bagi  kemanusiaan,  walaupun  tauhid  bukan  sesuatu  yang tak
dikenal sebelum masa beliau,  demikian  pula  keadilan  Tuhan,
serta pengabdian pada yang hak dan transenden. Namun itu semua
sampai  masa  Ibrahim  bukan  merupakan  ajaran  kenabian  dan
risalah  seluruh umat manusia. Di Mesir 5.000 tahun lalu telah
dikumandangkan ajaran keesaan Tuhan,  serta  persamaan  antara
sesama  manusia,  tapi  itu  merupakan  dekrit dari singgasana
kekuasaan  yang  kemudian  dibatalkan  oleh  dekrit   penguasa
sesudahnya.
 
Ibrahim    datang   mengumandangkan   keadilan   Ilahi,   yang
mempersamakan semua manusia dihadapan-Nya, sehingga betapa pun
kuatnya  seseorang.  Ia  tetap  sama  di  hadapan Tuhan dengan
seseorang yang paling lemah sekali  pun,  karena  kekuatan  si
kuat  diperoleh  dari  pada-Nya,  sedangkan kelemahan si lemah
adalah atas hikmah kebijaksanaan-Nya. Dia dapat mencabut  atau
menganugerahkan  kekuatan  itu  pada  siapa saja sesuai dengan
sunnah-sunnah yang ditetapkan-Nya.
 
Ibrahim hadir di pentas kehidupan pada suatu masa persimpangan
menyangkut  pandangan  tentang manusia dan kemanusiaan, antara
kebolehan memberi sesajen  yang  dikorbankan  berupa  manusia,
atau  ketidakbolehannya  dengan  alasan  bahwa  manusia adalah
makhluk yang sangat mulia, melalui Ibrahim as. secara  amaliah
dan  tegas  larangan  tersebut dilakukan, bukan karena manusia
terlalu tinggi nilainya sehingga tak wajar  untuk  dikorbankan
atau  berkorban,  tapi  karena  Tuhan  Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.   Putranya   Ismail   diperintahkan   Tuhan   untuk
dikorbankan,  sebagai  pertanda bahwa apa pun --bila panggilan
telah tiba wajar untuk dikorbankan demi karena Allah.  Setelah
perintah  tersebut  dilaksanakan  sepenuh  hati  oleh ayah dan
anak, Tuhan  dengan  kekuasaan-Nya  menghalangi  penyembelihan
tersebut  dan  menggantikannya  dengan  domba sebagai pertanda
bahwa hanya karena kasih sayang-Nya pada manusia, maka praktek
pengorbanan semacam itu pun tak diperkenankan.
 
Ibrahim menemukan dan membina keyakinannya melalui pencaharian
dan pengalaman-pengalaman kerohanian yang dilaluinya  dan  hal
ini  secara  agamis  atau  Qur'ani  terbukti  bukan saja dalam
penemuannya  tentang  keesaan  Tuhan   seru   sekalian   alam,
sebagaimana diuraikan dalam QS. al-An'am 6:75, tapi juga dalam
keyakinan tentang hari kebangkitan. (Menarik  untuk  diketahui
bahwa  beliaulah  satu-satunya  Nabi  yang  disebut  al-Qur'an
meminta  pada  Tuhan  untuk  diperlihatkan  bagaimana  caranya
menghidupkan  yang  mati, dan permintaan beliau itu dikabulkan
Tuhan, lihat, QS. al-Baqarah 2:260).
 
Demikian  sebagian  kecil  dari  keistimewaan  Nabi   Ibrahim,
sehingga  wajar jika beliau dijadikan teladan seluruh manusia,
seperti   ditegaskan   al-Qur'an   surah   al-Baqarah   2:127.
Keteladanan  tersebut  antara  lain  diwujudkan  dalam  bentuk
ibadah haji dengan  berkunjung  ke  Makkah,  karena  beliaulah
bersama    putranya    Ismail    yang    membangun   (kembali)
fondasi-fondasi Ka'bah  (QS.  al-Baqarah  2:127),  dan  beliau
pulalah yang diperintahkan untuk mengumandangkan syari'at haji
(QS. al-Haj 22:27). Keteladanan yang diwujudkan  dalam  bentuk
ibadah  tersebut  dan yang praktek-praktek ritualnya berkaitan
dengan  peristiwa  yang  beliau  dan  keluarga   alami,   pada
hakikataya  merupakan  penegasan  kembali  dari  setiap jamaah
haji, tentang keterikatannya dengan prinsip-prinsip  keyakinan
yang dianut Ibrahim, yang intinya adalah,
 
 1. Pengakuan Keesaan Tuhan, serta penolakan terhadap segala
    macam dan bentuk kemusyrikan baik berupa patung-patung,
    bintang, bulan dan matahari bahkan segala sesuatu selain
    dari Allah swt.
 
 2. Keyakinan tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam
    kehidupan ini, yang puncaknya akan diperoleh setiap
    makhluk pada hari kebangkitan kelak.
 
 3. Keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal,
    tiada perbedaan dalam kemanusiaan seseorang dengan lainnya,
    betapa pun terdapat perbedaan antar mereka dalam hal-hal
    lainnya.
 
Ketiga  inti  ajaran   ini   tercermin   dengan   jelas   atau
dilambangkan  dalam  praktek-praktek ibadah haji ajaran Islam.
Tulisan  ini  akan  menitikberatkan  uraian  menyangkut  butir
ketiga,  walau  pun  disadari, keyakinan tentang keesaan Tuhan
dan ketundukan semua makhluk di bawah  pengawasan,  pengaturan
dan pemeliharaan-Nya, mengantar makhluk ini, khususnya manusia
menyadari bahwa mereka semua sama dalam ketundukan pada Tuhan,
manusia  dalam  pandangan al-Qur'an, sama dari segi ini dengan
makhluk-makhluk  lain,  karena  walau  pun  manusia   memiliki
kemampuan  menggunakan  makhluk-makhluk  lain, namun kemampuan
tersebut bukan bersumber dari dirinya, tapi akibat  penundukan
Tuhan dan karena itu ia tak dibenarkan berlaku sewenang-wenang
terhadapnya, tapi berkewajiban bersikap bersahabat dengannya.
 
Keyakinan akan keesaan  Tuhan  juga  mengantar  manusia  untuk
menyadari,  bahwa semua manusia dalam kedudukan yang sama dari
segi nilai kemanusiaan, karena  semua  mereka  diciptakan  dan
berada  di  bawah  kekuasaan  Allah  swt.  QS.  al-Hujurat  13
menunjukkan betapa erat kaitan antara keyakinan  akan  keesaan
Tuhan dengan persamaan nilai kemanusiaan.
 
Ibadah  haji  dikumandangkan  Ibrahim  as.  sekitar 3600 tahun
lalu. Sesudah masa  beliau,  praktek-prakteknya  sedikit  atau
banyak  telah  mengalami  perubahan, namun kemudian diluruskan
kembali oleh Muhammad saw. Salah satu hal yang diluruskan itu,
adalah  praktek  ritual  yang  bertentangan dengan penghayatan
nilai universal kemanusiaan haji. Al-Qur'an  Surah  al-Baqarah
2:199,  menegur  sekelompok  manusia (yang dikenal dengan nama
al-Hummas) yang merasa  diri  memiliki  keistimewaan  sehingga
enggan  bersatu  dengan  orang  banyak  dalam melakukan wuquf.
Mereka wukuf di Mudzdalifah sedang  orang  banyak  di  Arafah.
Pemisahan  diri  yang  dilatarbelakangi  perasaan superioritas
dicegah oleh al-Qur'an  dan  turunlah  ayat  tersebut  diatas.
"Bertolaklah  kamu  dari tempat bertolaknya orang-orang banyak
dan  mohonlah  ampun  kepada  Allah  sesungguhnya  Allah  Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang."
 
Tak jelas apakah praktek bergandengan tangan saat melaksanakan
thawaf pada awal periode sejarah Islam, bersumber dari  ajaran
Ibrahim   dalam   rangka   mempererat  persaudaraan  dan  rasa
persamaan. Namun yang pasti  Nabi  saw  membatalkannya,  bukan
dengan tujuan membatalkan persaudaraan dan persamaan itu, tapi
karena alasan-alasan praktis pelaksanaan thawaf.
 
Salah satu bukti yang jelas tentang  keterkaitan  ibadah  haji
dengan  nilai-nilai  kemanusiaan  adalah  isi khutbah Nabi saw
pada haji wada' (haji  perpisahan)  yang  intinya  menekankan:
Persamaan;  keharusan  memelihara  jiwa,  harta dan kehormatan
orang lain; dan larangan melakukan penindasan  atau  pemerasan
terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi maupun fisik.
 
Pengamalan Nilai-nilai Kemanusiaan Universal
 
Makna  kemanusiaan  dan  pengalaman  nilai-nilainya  tak hanya
terbatas pada persamaan nilai antar perseorangan  dengan  yang
lain, tapi mengandung makna yang jauh lebih dalam dari sekedar
persamaan tersebut. Ia mencakup seperangkat nilai-nilai  luhur
yang   seharusnya  menghiasi  jiwa  pemiliknya.  Bermula  dari
kesadaran  akan  fitrah  atau  jati  dirinya  serta  keharusan
menyesuaikan  diri dengan tujuan kehadiran di pentas bumi ini.
Kemanusiaan mengantar putra-putri  Adam  menyadari  arah  yang
dituju  serta  perjuangan  mencapainya. Kemanusiaan menjadikan
makhluk  ini  memiliki  moral  serta   berkemampuan   memimpin
makhluk-makhluk  lain  mencapai tujuan penciptaan. Kemanusiaan
mengantarnya menyadari bahwa ia  adalah  makhluk  dwi  dimensi
yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik akhir.
Kemanusiaan mengantarnya sadar bahwa ia adalah makhluk  sosial
yang  tak  dapat  hidup  sendirian  dan harus bertenggang rasa
dalam berinteraksi.
 
Makna-makna tersebut  dipraktekkan  dalam  pelaksanaan  ibadah
haji,  dalam  acara-acara  ritual,  atau  dalam  tuntunan  non
ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam  bentuk
nyata  atau  simbolik  dan  kesemuanya pada akhirnya mengantar
jemaah haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan
universal. Berikut ini dikemukakan secara sepintas beberapa di
antaranya.
 
Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat  sambil  menanggalkan
pakaian   biasa   dan  mengenakan  pakaian  ihram.  Tak  dapat
disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya dan juga  menurut
al-Qur'an  berfungsi  sebagai  pembeda  antara  seseorang atau
sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat  mengantar
kepada  perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian
juga dapat memberi pengaruh  psikologis  pada  pemakainya.  Di
Miqat  Makany  di  tempat  dimana  ritual ibadah haji dimulai,
perbedaan dan pembedaan  tersebut  harus  ditanggalkan.  Semua
harus  memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis
dari pakaian harus ditanggalkan,  hingga  semua  merasa  dalam
satu  kesatuan  dan  persamaan.  "Di Miqat ini ada pun ras dan
sukumu lepaskan semua pakaian yang engkau kenakan  sehari-hari
sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan),
tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan
tipu   daya),  atau  domba  (yang  melambangkan  penghambaan).
Tinggalkan semua itu di Miqat dan berperanlah sebagai  manusia
yang sesungguhnya. [2]
 
Di   Miqat   dengan  mengenakan  dua  helai  pakaian  berwarna
putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuhnya ketika ia
mengakhiri   perjalanan  hidup  di  dunia  ini,  seorang  yang
melaksanakan ibadah  haji  akan  atau  seharusnya  dipengaruhi
jiwanya  oleh  pakaian  ini. Seharusnya ia merasakan kelemahan
dan  keterbatasannya,  serta  pertanggungjawaban   yang   akan
ditunaikannya  kelak  di  hadapan  Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang
disisi-Nya tiada perbedaan antara seseorang dengan yang  lain,
kecuali atas dasar pengabdian kepada-Nya.
 
Kedua,   dengan  dikenakannya  pakaian  ihram,  maka  sejumlah
larangan harus diindahkan oleh  pelaku  ibadah  haji.  Seperti
jangan menyakiti binatang, jangan membunuh, jangan menumpahkan
darah, jangan  mencabut  pepohonan.  Mengapa?  Karena  manusia
berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan itu, dan memberinya
kesempatan  seluas  mungkin  mencapai  tujuan   penciptaannya.
Dilarang  juga menggunakan wangi-wangian, bercumbu atau kawin,
dan berhias supaya setiap haji menyadari bahwa  manusia  bukan
hanya  materi  semata-mata  bukan  pula  birahi.  Hiasan  yang
dinilai Tuhan adalah hiasan rohani. Dilarang pula  menggunting
rambut,  kuku, supaya masing-masing menyadari jati dirinya dan
menghadap pada Tuhan sebagaimana apa adanya.
 
Ketiga, Ka'bah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang  amat
berharga  dari  segi  kemanusiaan.  Di  sana misalnya ada Hijr
Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. Di sanalah Ismail
putra  Ibrahim,  pembangun  Ka'bah  ini  pernah  berada  dalan
pangkuan Ibunya yang  bernama  Hajar,  seorang  wanita  hitam,
miskin  bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu,
namun demikian budak wanita ini ditempatkan Tuhan di sana atau
peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran bahwa
Allah swt  memberi  kedudukan  untuk  seseorang  bukan  karena
keturunan  atau  status  sosialnya,  tapi  karena kedekatannya
kepada  Allah  swt  dan  usahanya  untuk  menjadi  hajar  atau
berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan
menuju peradaban.
 
Keempat, setelah  selesai  melakukan  thawaf  yang  menjadikan
pelakunya  larut  dan  berbaur  bersama  manusia-manusia lain,
serta memberi kesan kebersamaan menuju satu tujuan  yang  sama
yakni  berada dalam lingkungan Allah swt dilakukanlah sa'i. Di
sini  muncul  lagi  Hajar,   budak   wanita   bersahaja   yang
diperistrikan  Nabi  Ibrahim  itu,  diperagakan  pengalamannya
mencari  air  untuk  putranya.  Keyakinan  wanita   ini   akan
kebesaran  dan  kemahakuasaan Allah sedemikian kokoh, terbukti
jauh sebelum peristiwa pencaharian  ini,  ketika  ia  bersedia
ditinggal  (Ibrahim)  bersama  anaknya  di  suatu  lembah yang
tandus,  keyakinannya  yang  begitu  dalam  tak  menjadikannya
samasekali  berpangku  tangan  menunggu  turunnya  hujan  dari
langit,   tapi   ia   berusaha   dan   berusaha   berkali-kali
mondar-mandir  demi  mencari kehidupan. Hajar memulai usahanya
dari bukit Shafa yang arti  harfiahnya  adalah  "kesucian  dan
ketegaran"  [3]  --sebagai  lambang  bahwa  mencapai kehidupan
harus  dengan  usaha  yang   dimulai   dengan   kesucian   dan
ketegaran--   dan  berakhir  di  Marwah  yang  berarti  "ideal
manusia, sikap menghargai, bermurah hati dan  memaafkan  orang
lain" [4].
 
Adakah  makna  yang  lebih  agung  berkaitan dengan pengamalan
kemanusiaan   dalam   mencari   kehidupan   duniawi   melebihi
makna-makna   yang   digambarkan   di   atas?   Kalau   thawaf
menggambarkan larutnya dan meleburnya  manusia  dalam  hadirat
Ilahi,  atau  dalam  istilah  kaum sufi al-fana' fi Allah maka
sai' menggambarkan usaha  manusia  mencari  hidup  --yang  ini
dilakukan  begitu  selesai  thawaf--  yang  melambangkan bahwa
kehidupan dunia  dan  akhirat  merupakan  suatu  kesatuan  dan
keterpaduan.  Maka  dengan  thawaf  disadarilah  tujuan  hidup
manusia.   Setengah   kesadaran   itu   dimulai   sa'i    yang
menggambarkan,   tugas   manusia  adalah  berupaya  semaksimal
mungkin.  Hasil  usaha  pasti  akan  diperoleh  baik   melalui
usahanya  maupun  melalui anugerah Tuhan, seperti yang dialami
Hajar bersama putranya Ismail dengan ditemukannya  air  Zamzam
itu.
 
Kelima,  di  Arafah, padang yang luas lagi gersang itu seluruh
jamaah  wuquf  (berhenti)  sampai  terbenamnya  matahari.   Di
sanalah   mereka  seharusnya  menemukan  ma'rifat  pengetahuan
sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya,  serta
di  sana  pula  ia  menyadari  langkah-langkahnya  selama ini,
sebagaimana ia menyadari pula betapa  besar  dan  agung  Tuhan
yang   kepadaNya   bersimpuh   seluruh   makhluk,  sebagaimana
diperagakan    secara    miniatur    di    padang    tersebut.
Kesadaran-kesadaran  itulah  yang  mengantarkannya  di  padang
'arafah  untuk  menjadi  'arif  atau  sadar  dan   mengetahui.
Kearifan  apabila  telah  menghias  seseorang, maka Anda akan,
menurut Ibnu  Sina,  "Selalu  gembira,  senyum,  betapa  tidak
senang  hatinya  telah  gembira  sejak ia mengenal-Nya, ... di
mana-mana ia melihat satu saja, ...  melihat  Yang  Maha  Suci
itu,  semua  makhluk  di  pandangnya sama (karena memang semua
sama, ... sama membutuhkan-Nya). Ia tak akan mengintip-ngintip
kelemahan  atau  mencari-cari  kesalahan  orang, ia tidak akan
cepat tersinggung walau melihat yang mungkar sekalipun  karena
jiwanya selalu diliputi rahmat dan kasih sayang.
 
Keenam,  dari  Arafah  para jamaah ke Mudzdalifah mengumpulkan
senjata  menghadapi  musuh   utama   yaitu   setan,   kemudian
melanjutkan perjalanan ke Mina dan di sanalah para Jamaah haji
melampiaskan  kebencian  dan  kemarahan  mereka  masing-masing
terhadap   musuh  yang  selama  ini  menjadi  penyebab  segala
kegetiran yang dialaminya.
 
Demikianlah ibadah haji merupakan kumpulan simbol-simbol  yang
sangat  indah,  apabila dihayati dan diamalkan secara baik dan
benar, maka pasti akan  mengantarkan  setiap  pelakunya  dalam
lingkungan  kemanusiaan  yang  benar  sebagaimana  dikehendaki
Allah.
 
CATATAN
 
 1. Lihat Abbas Mahmud al-Aqqad dalam Al-'Aqaid Wa al-mazahib,
    Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut 1978, h. 12-15.
 
 2. Lihat lebih jauh Ali Syariati dalam Haji, penterjemah Anas
    Mahyuddin, Pustaka Bandung, 1983, h. 12.
 
 3. Lihat al-Qurthuby dalam Tafsirnya al-jami'li Ahkam
    al-Qur'an, Dar al-Kitab al-Arabi, Cairo 1967, Jilid 11, h.
    180.
 
 4. Lihat Abdul Halim Mahmud, Al-tafkir al-falsafi fi 'l-Islam,
    Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, 1982. h. 430.
 
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Hikmah Pengharaman Babi

Hal ini penting untuk diketahui, terutama oleh pemuda-pemuda kita yang sering pergi ke negara-negara Eropa dan Amerika, yang menjadikan daging babi sebagai makanan pokok dalam hidangan mereka.
Dalam kesempatan ini, saya sitir kembali kejadian yang berlangsung ketika Imam Muhammad Abduh mengunjungi Perancis. Mereka bertanya kepadanya mengenai rahasia diharamkannya babi dalam Islam. Mereka bertanya kepada Imam, "Kalian (umat Islam) mengatakan bahwa babi haram, karena ia memakan sampah yang mengandung cacing pita, mikroba-mikroba dan bakteri-bakteri lainnya. Hal itu sekarang ini sudah tidak ada. Karena babi diternak dalam peternakan modern, dengan kebersihan terjamin, dan proses sterilisasi yang mencukupi. Bagaimana mungkin babi-babi itu terjangkit cacing pita atau bakteri dan mikroba lainnya.?"
Imam Muhammad Abduh tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan dengan kecerdikannya beliau meminta mereka untuk menghadirkan dua ekor ayam jantan beserta satu ayam betina, dan dua ekor babi jantan beserta satu babi betina.
Mengetahui hal itu, mereka bertanya, "Untuk apa semua ini?" Beliau menjawab, "Penuhi apa yang saya pinta, maka akan saya perlihatkan suatu rahasia."
Mereka memenuhi apa yang beliau pinta. Kemudian beliau memerintahkan agar melepas dua ekor ayam jantan bersama satu ekor ayam betina dalam satu kandang. Kedua ayam jantan itu berkelahi dan saling membunuh, untuk mendapatkan ayam betina bagi dirinya sendiri, hingga salah satu dari keduanya hampir tewas. Beliau lalu memerintahkan agar mengurung kedua ayam tersebut.
Kemudian beliau memerintahkan mereka untuk melepas dua ekor babi jantan bersama dengan satu babi betina. Kali ini mereka menyaksikan keanehan. Babi jantan yang satu membantu temannya sesama jantan untuk melaksanakan hajat seksualnya, tanpa rasa cemburu, tanpa harga diri atau keinginan untuk menjaga babi betina dari temannya.
Selanjutnya beliau berkata, "Saudara-saudara, daging babi membunuh 'ghirah' orang yang memakannya. Itulah yang terjadi pada kalian. Seorang lelaki dari kalian melihat isterinya bersama lelaki lain, dan membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan seorang bapak di antara kalian melihat anak perempuannya bersama lelaki asing, dan kalian membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan was-was, karena daging babi itu menularkan sifat-sifatnya pada orang yang memakannya."
Kemudian beliau memberikan contoh yang baik sekali dalam syariat Islam. Yaitu Islam mengharamkan beberapa jenis ternak dan unggas yang berkeliaran di sekitar kita, yang memakan kotorannya sendiri. Syariah memerintahkan bagi orang yang ingin menyembelih ayam, bebek atau angsa yang memakan kotorannya sendiri agar mengurungnya selama tiga hari, memberinya makan dan memperhatikan apa yang dikonsumsi oleh hewan itu. Hingga perutnya bersih dari kotoran-kotoran yang mengandung bakteri dan mikroba. Karena penyakit ini akan berpindah kepada manusia, tanpa diketahui dan dirasakan oleh orang yang memakannya. Itulah hukum Allah, seperti itulah hikmah Allah.
Ilmu pengetahuan modern telah mengungkapkan banyak penyakit yang disebabkan mengkonsumsi daging babi. Sebagian darinya disebutkan oleh Dr. Murad Hoffman, seorang Muslim Jerman, dalam bukunya "Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman", halaman 130-131: "Memakan daging babi yang terjangkiti cacing babi tidak hanya berbahaya, tetapi juga dapat menyebabkan meningkatnya kandungan kolestrol dan memperlambat proses penguraian protein dalam tubuh, yang mengakibatkan kemungkinan terserang kanker usus, iritasi kulit, eksim, dan rematik. Bukankah sudah kita ketahui, virus-virus influenza yang berbahaya hidup dan berkembang pada musim panas karena medium babi?"
Dr. Muhammad Abdul Khair, dalam bukunya Ijtihâdât fi at Tafsîr al Qur'an al Karîm, halaman 112, menyebutkan beberapa penyakit yang disebabkan oleh daging babi: "Daging babi mengandung benih-benih cacing pita dan cacing trachenea lolipia. Cacing-cacing ini akan berpindah kepada manusia yang mengkonsumsi daging babi tersebut. Patut dicatat, hingga saat ini, generasi babi belum terbebaskan dari cacing-cacing ini. Penyakit lain yang ditularkan oleh daging babi banyak sekali, di antaranya:
  1. Kolera babi. Yaitu penyakit berbahaya yang disebabkan oleh virus
  2. Keguguran nanah, yang disebabkan oleh bakteri prosillia babi.
  3. Kulit kemerahan, yang ganas dan menahun. Yang pertama bisa menyebabkan kematian dalam beberapa kasus, dan yang kedua menyebabkan gangguan persendian.
  4. Penyakit pengelupasan kulit.
  5. Benalu eskares, yang berbahaya bagi manusia.
Fakta-fakta berikut cukup membuat seseorang untuk segera menjauhi babi:
  1. Babi adalah hewan yang kerakusannya dalam makan tidak tertandingi hewan lain. Ia makan semua makanan di depannya. Jika perutnya telah penuh atau makanannya telah habis, ia akan memuntahkan isi perutnya dan memakannya lagi, untuk memuaskan kerakusannya. Ia tidak akan berhenti makan, bahkan memakan muntahannya.
  2. Ia memakan semua yang bisa dimakan di hadapannya. Memakan kotoran apa pun di depannya, entah kotoran manusia, hewan atau tumbuhan, bahkan memakan kotorannya sendiri, hingga tidak ada lagi yang bisa dimakan di hadapannya.
  3. Ia mengencingi kotoranya dan memakannya jika berada di hadapannya, kemudian memakannya kembali.
  4. Ia memakan sampah, busuk-busukan, dan kotoran hewan.
  5. Ia adalah hewan mamalia satu-satunya yang memakan tanah, memakannya dalam jumlah besar dan dalam waktu lama, jika dibiarkan.
  6. Kulit orang yang memakan babi akan mengeluarkan bau yang tidak sedap.
  7. Penelitian ilmiah modern di dua negara Timur dan Barat, yaitu Cina dan Swedia --Cina mayoritas penduduknya penyembah berhala, sedangkan Swedia mayoritas penduduknya sekular-- menyatakan: daging babi merupakan merupakan penyebab utama kanker anus dan kolon. Persentase penderita penyakit ini di negara-negara yang penduduknya memakan babi, meningkat secara drastis. Terutama di negara-negara Eropa, dan Amerika, serta di negara-negara Asia (seperti Cina dan India). Sementara di negara-negara Islam, persentasenya amat rendah, sekitar 1/1000. Hasil penelitian ini dipublikasikan pada 1986, dalam Konferensi Tahunan Sedunia tentang Penyakit Alat Pencernaan, yang diadakan di Sao Paulo.
Kini kita tahu betapa besar hikmah Allah mengharamkan daging dan lemak babi. Untuk diketahui bersama, pengharaman tersebut tidak hanya daging babi saja, namun juga semua makanan yang diproses dengan lemak babi, seperti beberapa jenis permen dan coklat, juga beberapa jenis roti yang bagian atasnya disiram dengan lemak babi. Kesimpulannya, semua hal yang menggunakan lemak hewan hendaknya diperhatikan sebelum disantap. Kita tidak memakannya kecuali setelah yakin bahwa makanan itu tidak mengandung lemak atau minyak babi, sehingga kita tidak terjatuh ke dalam kemaksiatan terhadap Allah SWT, dan tidak terkena bahaya-bahaya yang melatarbelakangi Allah SWT mengharamkan daging dan lemak babi.

Dari buku: Hidangan Islami: Ulasan Komprehensif Berdasarkan Syari'at dan Sains Modern
Penulis: Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid
Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani, Cet : I/1997
Penerbit: Gema Insani Press
Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388

HUKUM BEKERJA DI BANK

HUKUM BEKERJA DI BANK                     Dr. Yusuf Qardhawi
 
PERTANYAAN
 
Saya tamatan sebuah akademi perdagangan yang telah  berusaha
mencari  pekerjaan  tetapi  tidak  mendapatkannya kecuali di
salah satu bank. Padahal, saya  tahu  bahwa  bank  melakukan
praktek  riba.  Saya  juga tahu bahwa agama melaknat penulis
riba. Bagaimanakah sikap  saya  terhadap  tawaran  pekerjaan
ini?
 
JAWABAN
 
Sistem ekonomi dalam Islam ditegakkan  pada  asas  memerangi
riba   dan  menganggapnya  sebagai  dosa  besar  yang  dapat
menghapuskan berkah dari  individu  dan  masyarakat,  bahkan
dapat mendatangkan bencana di dunia dan di akhirat.
 
Hal  ini  telah  disinyalir di dalam Al Qur'an dan As Sunnah
serta telah disepakati oleh umat. Cukuplah kiranya jika Anda
membaca firman Allah Ta'ala berikut ini:
 
     "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.
     Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap
     dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa." (Al
     Baqarah: 276)
     
     "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
     Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
     dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka
     jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
     riba) maka ketabuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya
     akan memerangimu ..." (Al Baqarah: 278-279)
     
Mengenai hal ini Rasulullah saw. bersabda
     
     "Apabila zina dan riba telah merajalela di suatu
     negeri, berarti mereka telah menyediakan diri
     mereka untuk disiksa oleh Allah." (HR Hakim)1
 
Dalam peraturan dan tuntunannya Islam menyuruh umatnya  agar
memerangi  kemaksiatan.  Apabila  tidak  sanggup, minimal ia
harus menahan diri agar perkataan maupun perbuatannya  tidak
terlibat   dalam   kemaksiatan   itu.   Karena   itu   Islam
mengharamkan  semua  bentuk  kerja  sama   atas   dosa   dan
permusuhan,   dan  menganggap  setiap  orang  yang  membantu
kemaksiatan bersekutu dalam dosanya bersama pelakunya,  baik
pertolongan   itu   dalam  bentuk  moril  ataupun  materiil,
perbuatan ataupun  perkataan.  Dalam  sebuah  hadits  hasan,
Rasulullah saw. bersabda mengenai kejahatan pembunuhan:
 
     "Kalau penduduk langit dan penduduk bumi bersekutu
     dalam membunuh seorang mukmin, niscaya Allah akan
     membenamkan mereka dalam neraka." (HR Tirmidzi)
 
Sedangkan tentang khamar beliau saw. bersabda:
 
     "Allah melaknat khamar, peminumnya, penuangnya,
     pemerahnya, yang meminta diperahkan, pembawanya,
     dan yang dibawakannya." (HR Abu Daud dan Ibnu
     Majah)
 
Demikian juga terhadap praktek suap-menyuap:
 
     "Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap, yang
     menerima suap, dan yang menjadi perantaranya." (HR
     Ibnu Hibban dan Hakim)
 
Kemudian mengenai riba, Jabir bin Abdillah r.a. meriwayatkan:
 
     "Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi
     makan dengan hasil riba, dan dua orangyang menjadi
     saksinya." Dan beliau bersabda: "Mereka itu sama."
     (HR Muslim)
 
Ibnu Mas'ud meriwayatkan:
 
     "Rasulullah saw. melaknat orang yang makan riba
     dan yang memberi makan dari hasil riba, dua orang
     saksinya, dan penulisnya." (HR Ahmad, Abu Daud,
     Ibnu Majah, dan Tirmidzi)2
 
Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan:
 
     "Orang yang makan riba, orang yang memben makan
     dengan riba, dan dua orang saksinya --jika mereka
     mengetahui hal itu-- maka mereka itu dilaknat
     lewat lisan Nabi Muhammad saw. hingga han kiamat."
     (HR Nasa'i)
 
Hadits-hadits sahih yang sharih itulah  yang  menyiksa  hati
orang-orang  Islam  yang  bekerja  di bank-bank atau syirkah
(persekutuan)   yang   aktivitasnya   tidak    lepas    dari
tulis-menulis dan bunga riba. Namun perlu diperhatikan bahwa
masalah riba ini tidak hanya berkaitan dengan  pegawai  bank
atau  penulisnya pada berbagai syirkah, tetapi hal ini sudah
menyusup ke dalam sistem ekonomi  kita  dan  semua  kegiatan
yang berhubungan dengan keuangan, sehingga merupakan bencana
umum sebagaimana yang diperingatkan Rasulullah saw.:
 
     "Sungguh akan datang pada manusia suatu masa yang
     pada waktu itu tidak tersisa seorangpun melainkan
     akan makan riba; barangsiapa yang tidak memakannya
     maka ia akan terkena debunya." (HR Abu Daud dan
     Ibnu Majah)
 
Kondisi seperti ini tidak dapat diubah dan diperbaiki  hanya
dengan  melarang  seseorang  bekerja di bank atau perusahaan
yang mempraktekkan riba.  Tetapi  kerusakan  sistem  ekonomi
yang  disebabkan  ulah  golongan  kapitalis  ini hanya dapat
diubah oleh  sikap  seluruh  bangsa  dan  masyarakat  Islam.
Perubahan  itu  tentu  saja harus diusahakan secara bertahap
dan  perlahan-lahan  sehingga  tidak  menimbulkan  guncangan
perekonomian  yang dapat menimbulkan bencana pada negara dan
bangsa. Islam sendiri tidak melarang umatnya untuk melakukan
perubahan    secara   bertahap   dalam   memecahkan   setiap
permasalahan yang pelik.  Cara  ini  pernah  ditempuh  Islam
ketika  mulai  mengharamkan riba, khamar, dan lainnya. Dalam
hal ini yang terpenting adalah tekad  dan  kemauan  bersama,
apabila  tekad  itu  telah bulat maka jalan pun akan terbuka
lebar.
 
Setiap  muslim  yang  mempunyai  kepedulian  akan  hal   ini
hendaklah  bekerja  dengan  hatinya,  lisannya,  dan segenap
kemampuannya melalui berbagai wasilah  (sarana)  yang  tepat
untuk   mengembangkan   sistem  perekonomian  kita  sendiri,
sehingga  sesuai  dengan  ajaran   Islam.   Sebagai   contoh
perbandingan,  di  dunia  ini  terdapat beberapa negara yang
tidak memberlakukan sistem riba, yaitu mereka yang  berpaham
sosialis.
 
Di  sisi lain, apabila kita melarang semua muslim bekerja di
bank, maka dunia perbankan dan sejenisnya akan dikuasai oleh
orang-orang  nonmuslim  seperti  Yahudi dan sebagainya. Pada
akhirnya, negara-negara Islam akan dikuasai mereka.
 
Terlepas dari semua itu,  perlu  juga  diingat  bahwa  tidak
semua  pekerjaan  yang  berhubungan  dengan  dunia perbankan
tergolong riba. Ada diantaranya yang halal dan baik, seperti
kegiatan  perpialangan,  penitipan,  dan  sebagainya; bahkan
sedikit pekerjaan di sana yang termasuk haram.  Oleh  karena
itu,  tidak  mengapalah  seorang  muslim  menerima pekerjaan
tersebut --meskipun hatinya tidak rela-- dengan harapan tata
perekonomian  akan  mengalami  perubahan menuju kondisi yang
diridhai agama  dan  hatinya.  Hanya  saja,  dalam  hal  ini
hendaklah  ia  rnelaksanakan tugasnya dengan baik, hendaklah
menunaikan kewajiban terhadap dirinya dan  Rabb-nya  beserta
umatnya sambil menantikan pahala atas kebaikan niatnya:
 
     "Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia
     niatkan." (HR Bukhari)
 
Sebelum  saya  tutup  fatwa  ini  janganlah  kita  melupakan
kebutuhan  hidup  yang  oleh  para fuqaha diistilahkan telah
mencapai tingkatan darurat. Kondisi inilah yang mengharuskan
saudara  penanya  untuk  menerima pekerjaan tersebut sebagai
sarana mencari penghidupan dan  rezeki,  sebagaimana  firman
Allah SWT:
 
     "... Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
     (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan
     tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa
     baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
     Maha Penyayang." (Al Baqarah: 173}
 
Catatan kaki:
1 Hakim mengatakan bahwa hadits ini sahih isnadnya.
2 Tirmidzi mensahihkannya. Hadits ini diriwayatkan pula
  oleh Ibnu Hibban dan Hakim, dan mereka mensahihkannya.
 
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 

Fatwa Tentang Bunga Bank

BUNGA BANK                                Dr. Yusuf Qardhawi
 
PERTANYAAN
 
Saya seorang pegawai golongan menengah, sebagian penghasilan
saya tabungkan dan saya mendapatkan bunga. Apakah dibenarkan
saya mengambil bunga itu? Karena  saya  tahu  Syekh  Syaltut
memperbolehkan mengambil bunga ini.
 
Saya pernah bertanya kepada sebagian ulama, di antara mereka
ada yang memperbolehkannya dan ada yang  melarangnya.  Perlu
saya  sampaikan  pula bahwa saya biasanya mengeluarkan zakat
uang saya, tetapi bunga  bank  yang  saya  peroleh  melebihi
zakat yang saya keluarkan.
 
Jika bunga uang itu tidak boleh saya ambil, maka apakah yang
harus saya lakukan?
 
JAWABAN
 
Sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah
riba yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yang
disyaratkan atas pokok  harta.  Artinya,  apa  yang  diambil
seseorang   tanpa   melalui   usaha  perdagangan  dan  tanpa
berpayah-payah sebagai tambahan atas  pokok  hartanya,  maka
yang  demikian  itu  termasuk  riba.  Dalam  hal  ini  Allah
berfirman:
 
    "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
     Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
     jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu
     tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
     ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
     memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan
     riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
     menganiaya dan tidak (pula) dianiaya."
    (Antara lain Baqarah: 278-279)
 
Yang dimaksud dengan tobat di  sini  ialah  seseorang  tetap
pada  pokok  hartanya,  dan  berprinsip  bahwa tambahan yang
timbul darinya adalah  riba.  Bunga-bunga  sebagai  tambahan
atas  pokok  harta  yang diperoleh tanpa melalui persekutuan
atas perkongsian, mudharakah, atau bentuk-bentuk persekutuan
dagang lainnnya, adalah riba yang diharamkan. Sedangkan guru
saya  Syekh  Syaltut   sepengetahuan   saya   tidak   pernah
memperbolehkan  bunga  riba, hanya beliau pernah mengatakan:
"Bila keadaan darurat --baik darurat individu maupun darurat
ijtima'iyah--  maka  bolehlah dipungut bunga itu." Dalam hal
ini  beliau   memperluas   makna   darurat   melebihi   yang
semestinya,  dan  perluasan  beliau  ini tidak saya setujui.
Yang pernah beliau fatwakan  juga  ialah  menabung  di  bank
sebagai sesuatu yang lain dari bunga bank. Namun, saya tetap
tidak setuju dengan pendapat ini.
 
Islam tidak memperbolehkan seseorang menaruh pokok  hartanya
dengan  hanya  mengambil  keuntungan.  Apabila dia melakukan
perkongsian,  dia  wajib  memperoleh  keuntungan   begitupun
kerugiannya.  Kalau  keuntungannya sedikit, maka dia berbagi
keuntungan sedikit, demikian juga jika memperoleh keuntungan
yang banyak. Dan jika tidak mendapatkan keuntungan, dia juga
harus menanggung kerugiannya. Inilah makna persekutuan  yang
sama-sama memikul tanggung jawab.
 
Perbandingan  perolehan  keuntungan  yang tidak wajar antara
pemilik  modal   dengan   pengelola   --misalnya   pengelola
memperoleh  keuntungan  sebesar  80%-90%  sedangkan  pemilik
modal  hanya  lima  atau  enam  persen--  atau   terlepasnya
tanggung  jawab  pemilik  modal  ketika  pengelola mengalami
kerugian, maka  cara  seperti  ini  menyimpang  dari  sistem
ekonomi  Islam  meskipun  Syeh  Syaltut  pernah  memfatwakan
kebolehannya. Semoga Allah memberi rahmat dan ampunan kepada
beliau.
 
Maka pertanyaan apakah dibolehkan mengambil bunga bank, saya
jawab tidak boleh. Tidak halal baginya dan  tidak  boleh  ia
mengambil   bunga  bank,  serta  tidaklah  memadai  jika  ia
menzakati harta yang ia simpan di bank.
 
Kemudian langkah apa yang harus kita lakukan jika menghadapi
kasus demikian?
 
Jawaban saya: segala sesuatu yang haram tidak boleh dimiliki
dan wajib  disedekahkan  sebagaimana  dikatakan  para  ulama
muhaqqiq  (ahli tahqiq). Sedangkan sebagian ulama yang wara'
(sangat berhati-hati) berpendapat bahwa uang itu tidak boleh
diambil  meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya
atau membuangnya ke laut.  Dengan  alasan,  seseorang  tidak
boleh  bersedekah dengan sesuatu yang jelek. Tetapi pendapat
ini bertentangan  dengan  kaidah  syar'iyyah  yang  melarang
menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya.
 
Harta  itu  bolehlah  diambil  dan disedekahkan kepada fakir
miskin, atau disalurkan  pada  proyek-proyek  kebaikan  atau
lainnya  yang  oleh  si  penabung  dipandang bermanfaat bagi
kepentingan Islam dan kaum muslimin. Karena harta haram  itu
--sebagaimana  saya katakan-- bukanlah milik seseorang, uang
itu bukan milik  bank  atau  milik  penabung,  tetapi  milik
kemaslahatan umum.
 
Demikianlah  keadaan  harta yang haram, tidak ada manfaatnya
dizakati, karena zakat itu tidak dapat  mensucikannya.  Yang
dapat  mensucikan  harta ialah mengeluarkan sebagian darinya
untuk zakat. Karena itulah Rasulullah saw. bersabda:
 
    "Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari
     hasil korupsi." (HR Muslim)
 
Allah tidak menerima sedekah dari harta semacam ini,  karena
harta  tersebut  bukan  milik  orang yang memegangnya tetapi
milik umum yang dikorupsi.
 
Oleh sebab itu, janganlah  seseorang  mengambil  bunga  bank
untuk  kepentingan  dirinya,  dan  jangan pula membiarkannya
menjadi milik bank sehingga dimanfaatkan karena hal ini akan
memperkuat posisi bank dalam bermuamalat secara riba. Tetapi
hendaklah   ia   mengambilnya   dan   menggunakannya    pada
jalan-jalan kebaikan.
 
Sebagian   orang   ada   yang   mengemukakan   alasan  bahwa
sesungguhnya seseorang yang  menyõmpan  uang  di  bank  juga
memiliki  risiko  kerugian  jika bank itu mengalami kerugian
dan  pailit,  misalnya  karena  sebab  tertentu.  Maka  saya
katakan bahwa kerugian seperti itu tidak membatalkan kaidah,
walaupun  si  penabung  mengalami   kerugian   akibat   dari
kepailitan   atau  kebangkrutan  tersebut,  karena  hal  ini
menyimpang  dari  kaidah  yang   telah   ditetapkan.   Sebab
tiap-tiap  kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam
syariat Ilahi  -demikian  juga  dalam  undang-undang  buatan
manusia--  tidak  boleh  disandarkan  kepada perkara-perkara
yang ganjil dan jarang terjadi. Semua  ulama  telah  sepakat
bahwa  sesuatu  yang  jarang  terjadi  tidak dapat dijadikan
sebagai  sandaran  hukum,  dan  sesuatu  yang  lebih  sering
terjadi  dihukumi sebagai hukum keseluruhan. Oleh karenanya,
kejadian tertentu tidak dapat membatalkan  kaidah  kulliyyah
(kaidah umum).
 
Menurut  kaidah  umum,  orang  yang  menabung uang (di bank)
dengan  jalan  riba  hanya  mendapatkan   keuntungan   tanpa
memiliki  risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalami
kerugian, maka  hal  itu  merupakan  suatu  keganjilan  atau
penyimpangan  dari  kondisi  normal, dan keganjilan tersebut
tidak dapat dijadikan sandaran hukum.
 
Boleh  jadi  saudara  penanya  berkata,  "Tetapi  bank  juga
mengolah  uang  para  nasabah, maka mengapa saya tidak boleh
mengambil keuntungannya?"
 
Betul  bahwa  bank  memperdagangkan  uang  tersebut,  tetapi
apakah  sang  nasabah  ikut  melakukan aktivitas dagang itu.
Sudah tentu tidak. Kalau nasabah  bersekutu  atau  berkongsi
dengan  pihak  bank  sejak  semula, maka akadnya adalah akad
berkongsi, dan  sebagai  konsekuensinya  nasabah  akan  ikut
menanggung  apabila  bank  mengalami  kerugian.  Tetapi pada
kenyataannya,  pada  saat  bank  mengalami   kerugian   atau
bangkrut,  maka  para  penabung  menuntut  dan  meminta uang
mereka, dan pihak  bank  pun  tidak  mengingkarinya.  Bahkan
kadang-kadang   pihak   bank   mengembalikan  uang  simpanan
tersebut  dengan  pembagian  yang   adil   (seimbang)   jika
berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlah
sedikit.
 
Bagaimanapun juga sang nasabah tidaklah  menganggap  dirinya
bertanggung  jawab  atas  kerugian itu dan tidak pula merasa
bersekutu  dalam  kerugian  bank  tersebut,  bahkan   mereka
menuntut uangnya secara utuh tanpa kurang sedikit pun.
 
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X