Sabtu, 02 Juli 2011

Fatwa Tentang Bunga Bank

BUNGA BANK                                Dr. Yusuf Qardhawi
 
PERTANYAAN
 
Saya seorang pegawai golongan menengah, sebagian penghasilan
saya tabungkan dan saya mendapatkan bunga. Apakah dibenarkan
saya mengambil bunga itu? Karena  saya  tahu  Syekh  Syaltut
memperbolehkan mengambil bunga ini.
 
Saya pernah bertanya kepada sebagian ulama, di antara mereka
ada yang memperbolehkannya dan ada yang  melarangnya.  Perlu
saya  sampaikan  pula bahwa saya biasanya mengeluarkan zakat
uang saya, tetapi bunga  bank  yang  saya  peroleh  melebihi
zakat yang saya keluarkan.
 
Jika bunga uang itu tidak boleh saya ambil, maka apakah yang
harus saya lakukan?
 
JAWABAN
 
Sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah
riba yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan yang
disyaratkan atas pokok  harta.  Artinya,  apa  yang  diambil
seseorang   tanpa   melalui   usaha  perdagangan  dan  tanpa
berpayah-payah sebagai tambahan atas  pokok  hartanya,  maka
yang  demikian  itu  termasuk  riba.  Dalam  hal  ini  Allah
berfirman:
 
    "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
     Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
     jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu
     tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
     ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
     memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan
     riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
     menganiaya dan tidak (pula) dianiaya."
    (Antara lain Baqarah: 278-279)
 
Yang dimaksud dengan tobat di  sini  ialah  seseorang  tetap
pada  pokok  hartanya,  dan  berprinsip  bahwa tambahan yang
timbul darinya adalah  riba.  Bunga-bunga  sebagai  tambahan
atas  pokok  harta  yang diperoleh tanpa melalui persekutuan
atas perkongsian, mudharakah, atau bentuk-bentuk persekutuan
dagang lainnnya, adalah riba yang diharamkan. Sedangkan guru
saya  Syekh  Syaltut   sepengetahuan   saya   tidak   pernah
memperbolehkan  bunga  riba, hanya beliau pernah mengatakan:
"Bila keadaan darurat --baik darurat individu maupun darurat
ijtima'iyah--  maka  bolehlah dipungut bunga itu." Dalam hal
ini  beliau   memperluas   makna   darurat   melebihi   yang
semestinya,  dan  perluasan  beliau  ini tidak saya setujui.
Yang pernah beliau fatwakan  juga  ialah  menabung  di  bank
sebagai sesuatu yang lain dari bunga bank. Namun, saya tetap
tidak setuju dengan pendapat ini.
 
Islam tidak memperbolehkan seseorang menaruh pokok  hartanya
dengan  hanya  mengambil  keuntungan.  Apabila dia melakukan
perkongsian,  dia  wajib  memperoleh  keuntungan   begitupun
kerugiannya.  Kalau  keuntungannya sedikit, maka dia berbagi
keuntungan sedikit, demikian juga jika memperoleh keuntungan
yang banyak. Dan jika tidak mendapatkan keuntungan, dia juga
harus menanggung kerugiannya. Inilah makna persekutuan  yang
sama-sama memikul tanggung jawab.
 
Perbandingan  perolehan  keuntungan  yang tidak wajar antara
pemilik  modal   dengan   pengelola   --misalnya   pengelola
memperoleh  keuntungan  sebesar  80%-90%  sedangkan  pemilik
modal  hanya  lima  atau  enam  persen--  atau   terlepasnya
tanggung  jawab  pemilik  modal  ketika  pengelola mengalami
kerugian, maka  cara  seperti  ini  menyimpang  dari  sistem
ekonomi  Islam  meskipun  Syeh  Syaltut  pernah  memfatwakan
kebolehannya. Semoga Allah memberi rahmat dan ampunan kepada
beliau.
 
Maka pertanyaan apakah dibolehkan mengambil bunga bank, saya
jawab tidak boleh. Tidak halal baginya dan  tidak  boleh  ia
mengambil   bunga  bank,  serta  tidaklah  memadai  jika  ia
menzakati harta yang ia simpan di bank.
 
Kemudian langkah apa yang harus kita lakukan jika menghadapi
kasus demikian?
 
Jawaban saya: segala sesuatu yang haram tidak boleh dimiliki
dan wajib  disedekahkan  sebagaimana  dikatakan  para  ulama
muhaqqiq  (ahli tahqiq). Sedangkan sebagian ulama yang wara'
(sangat berhati-hati) berpendapat bahwa uang itu tidak boleh
diambil  meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya
atau membuangnya ke laut.  Dengan  alasan,  seseorang  tidak
boleh  bersedekah dengan sesuatu yang jelek. Tetapi pendapat
ini bertentangan  dengan  kaidah  syar'iyyah  yang  melarang
menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya.
 
Harta  itu  bolehlah  diambil  dan disedekahkan kepada fakir
miskin, atau disalurkan  pada  proyek-proyek  kebaikan  atau
lainnya  yang  oleh  si  penabung  dipandang bermanfaat bagi
kepentingan Islam dan kaum muslimin. Karena harta haram  itu
--sebagaimana  saya katakan-- bukanlah milik seseorang, uang
itu bukan milik  bank  atau  milik  penabung,  tetapi  milik
kemaslahatan umum.
 
Demikianlah  keadaan  harta yang haram, tidak ada manfaatnya
dizakati, karena zakat itu tidak dapat  mensucikannya.  Yang
dapat  mensucikan  harta ialah mengeluarkan sebagian darinya
untuk zakat. Karena itulah Rasulullah saw. bersabda:
 
    "Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari
     hasil korupsi." (HR Muslim)
 
Allah tidak menerima sedekah dari harta semacam ini,  karena
harta  tersebut  bukan  milik  orang yang memegangnya tetapi
milik umum yang dikorupsi.
 
Oleh sebab itu, janganlah  seseorang  mengambil  bunga  bank
untuk  kepentingan  dirinya,  dan  jangan pula membiarkannya
menjadi milik bank sehingga dimanfaatkan karena hal ini akan
memperkuat posisi bank dalam bermuamalat secara riba. Tetapi
hendaklah   ia   mengambilnya   dan   menggunakannya    pada
jalan-jalan kebaikan.
 
Sebagian   orang   ada   yang   mengemukakan   alasan  bahwa
sesungguhnya seseorang yang  menyõmpan  uang  di  bank  juga
memiliki  risiko  kerugian  jika bank itu mengalami kerugian
dan  pailit,  misalnya  karena  sebab  tertentu.  Maka  saya
katakan bahwa kerugian seperti itu tidak membatalkan kaidah,
walaupun  si  penabung  mengalami   kerugian   akibat   dari
kepailitan   atau  kebangkrutan  tersebut,  karena  hal  ini
menyimpang  dari  kaidah  yang   telah   ditetapkan.   Sebab
tiap-tiap  kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam
syariat Ilahi  -demikian  juga  dalam  undang-undang  buatan
manusia--  tidak  boleh  disandarkan  kepada perkara-perkara
yang ganjil dan jarang terjadi. Semua  ulama  telah  sepakat
bahwa  sesuatu  yang  jarang  terjadi  tidak dapat dijadikan
sebagai  sandaran  hukum,  dan  sesuatu  yang  lebih  sering
terjadi  dihukumi sebagai hukum keseluruhan. Oleh karenanya,
kejadian tertentu tidak dapat membatalkan  kaidah  kulliyyah
(kaidah umum).
 
Menurut  kaidah  umum,  orang  yang  menabung uang (di bank)
dengan  jalan  riba  hanya  mendapatkan   keuntungan   tanpa
memiliki  risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalami
kerugian, maka  hal  itu  merupakan  suatu  keganjilan  atau
penyimpangan  dari  kondisi  normal, dan keganjilan tersebut
tidak dapat dijadikan sandaran hukum.
 
Boleh  jadi  saudara  penanya  berkata,  "Tetapi  bank  juga
mengolah  uang  para  nasabah, maka mengapa saya tidak boleh
mengambil keuntungannya?"
 
Betul  bahwa  bank  memperdagangkan  uang  tersebut,  tetapi
apakah  sang  nasabah  ikut  melakukan aktivitas dagang itu.
Sudah tentu tidak. Kalau nasabah  bersekutu  atau  berkongsi
dengan  pihak  bank  sejak  semula, maka akadnya adalah akad
berkongsi, dan  sebagai  konsekuensinya  nasabah  akan  ikut
menanggung  apabila  bank  mengalami  kerugian.  Tetapi pada
kenyataannya,  pada  saat  bank  mengalami   kerugian   atau
bangkrut,  maka  para  penabung  menuntut  dan  meminta uang
mereka, dan pihak  bank  pun  tidak  mengingkarinya.  Bahkan
kadang-kadang   pihak   bank   mengembalikan  uang  simpanan
tersebut  dengan  pembagian  yang   adil   (seimbang)   jika
berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlah
sedikit.
 
Bagaimanapun juga sang nasabah tidaklah  menganggap  dirinya
bertanggung  jawab  atas  kerugian itu dan tidak pula merasa
bersekutu  dalam  kerugian  bank  tersebut,  bahkan   mereka
menuntut uangnya secara utuh tanpa kurang sedikit pun.
 
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X

0 komentar:

Posting Komentar