Minggu, 10 Juli 2011

DAMPAK TEKNOLOGI KEDOKTERAN MODEREN TERHADAP BUDAYA KEMATIAN DAN KEHIDUPAN

DAMPAK TEKNOLOGI KEDOKTERAN MODEREN
TERHADAP BUDAYA KEMATIAN DAN KEHIDUPAN
Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Dr. ALFRED C. SATYO, DSF, MHPE


PENDAHULUAN

Kehidupan dan kematian dapat diibaratka kedua sisi yang berlainan dari
sebuah mata uang logam. Keduanya merupakan proses awal dan akhir kehidupan
semua makhluk yang tumbuh. Tumbuhan, baik mikroorgan maupun makro.
Tema yang dipilih panitia perayaan lustrum II Sekolah Tinggi Filsafat dan
Teknologi St. Johannes yaitu “Budaya kematian versus kematian”, mengisyaratkan
bahwa seminar membatasi kehidupan dan kematian manusia saja, sebab hanya
manusia sajalah makhluk yang berbudaya. Adanya tata budaya, mengingatkan
penulis pada seorang budayawan dan sastrawan besar India, yaitu Dr. Rabindranath
Tagore ia pernah berkata, “ketika seorang anak manusia lahir, semua keluarga dan
kerabat tertawa dan bergembira, dan hanya sang bayi yang menangis. Usahakanlah
sepanjang hidupmu berbuat segala karya dan kebajikan, sehingga waktu meninggal
semua orang menangis dan hanya kamu yang tertawa di nirwana”.
Karena kita ingin membahas manusia, tentu saja dapat ditinjau dari aspek
yang banyak dan luas pula. Makalah ini akan membatasi diri pada aspek dan moral.

Evangilium Vitae

Ensiklik yang dipublikasikan Paus Johannes Paus II pada hari Kamis tanggal
30 Maret 1995 berjudul “evangilium vitae” diungkapkan beliau sendiri sebagai “A
message of hope”. Pesan ini mengundang semua orang agar memelihara,
mempertahankan dan mencintai kehidupan. Kematian, masih mengancam orangorang
yang tidak berbudaya, padahal kehidupan itu sendiri merupakan karya Tuhan.
Paus mengungkapkan kekhawatiran beliau itu dengan kalimat “Threats again life are
scientifically and systematically programmed”. Ensiklik ini cukup banyak serta
berulangkali memakai istilah-istilah kedokteran seperti gonesida, abortus, euthanasia
dan lain-lain. Beliau ikut cemas akan beberapa sektor-sektor tetentu dari profesi
medis yang slogannya dipergunakan untuk mempertahankan dan memelihara
kehidupan manusia. Ternyata semakin meningkat tindakan melawan kehidupan
mereka. Penulis lebih menitikberatkan bacaannya pada chapter III saja yang banyak
menggunakan istilah-istilah kedokteran, sedangkan bagian-bagian lain lebih
menekankan pesan-pesan pastoral.

Kehidupan

Apakah hidup atau kehidupan itu ?
Ternyata banyak sarjana kedokteran maupun biologi belum dapat
mengungkapkannya secara memuaskan. Pada awal tahun 1950-an, seorang biolog
Amerika bernama Hegner memperhatihan seekor lalat yang terbang dihadapannya.
Setelah mengamati gerak-geriknya cukup lama, ia memukul lalat itu. Pada mulanya
masih tampak gerakan-gerakannya yang semakin lam semakin kurang dan akhirnya
hilang. Karena merasa belum puas, sebagian kecil lalat itu diamatinya di bawah
mikroskop. Dengan jelas tampak olehnya gerakan-gerakan protoplasma yang aktif
didalam sel-sel tadi. Gerakan-gerakan protoplasma inipun menghilang juga beberapa
jam kemudian. Maka Hegner menyimpulkan bahwa “life Is assumed as the activity of
protoplasm” atau gerakan-gerakan protoplasma merupakan gejala-gejala kehidupan.
Sampai saat ini penelitian masih dilanjutkan hingga pemeriksaan enzim-enzim DNA.
Karena bukti-bukti kehidupan ini cukup banyak dan luas, maka penjelasannya
menjadi semakin luas ataupun cukup sempit sesuai pandangan atau kepentingan
kalangan tertentu. Maka dari itu banyak penelitian modren lebih mengulas atau
membahas pengertian mati atu batas yang disebut mati.

Bagaimana masarakat menghadapi kematian

Pada suatu malam ketika bertugas sebagai dokter jaga di R.S Santa Elisabet
Medan, perawat koordinator melaporkan pasien yang kritis. Setelah menerima
laporan itu, maka penulis memulai kunjungan keliling kesemua ruangan pasien.
Dalam masalah satu kamar, penulis terlibat pembicaraan dengan salah seorang
pasien katolik yang sudah dikenal lama. Salah satu ucapannya, “dokter, besok saya
akan berangkat jam lima pagi.” Penulis balik bertanya , “mau kemana, mas? Negeri
belanda atau jakarta?” jawabnya, “ bukan, besok saya meninggal,” tentu saja setiap
orang yang mendengarkan akan teperanjat,apalagi diucapkan dalam keadaan
sadar.Pada pukul 23.00 WIB pasien yang ternyata telah lama menderita penyakit
hati kronis ini mulai krisis. Kesadaran menurun dan seluruh anggota keluarga
berkumpul dan bersoa di sekelilingnya. Sekitar pukul 03.00 dinihari pasien tidak
sadarkan diri lagi. Segala daya dan upaya memperbaiki tekanan darah dan
pernafasan tidak berhasil lagi. Seluruh keluarga telah pasrah dan akhirnya
“berangkatlah” pasien tadi sesuei waktu yang diucapkannya kemarin.
Kasusu kedua juga berlangsung di Rumah Sakit Santa Elisabet pada tahun 1979.
Putra tertua seorang pasien turunan Cina yang beragam Buddha mendiskusikan
keadaan ayahnya yang sedang menghadapi kematian. Penduduk Stabat ini
menanyakan, apakah kondisi ayahnya dapat dipertahankan hingga lewat tengah
malam. Keluarga mereka beranggapan, jika ayahnya meninggal dini hari, maka
rezeki anak cucunya dapat meningkat.
Anggapan mereka, bila ayahnya meninggal pagi hari, berarti ia sudah sarapan satu
kali. Bila meninggal lewat tengah hari berarti sudah dua kali. Jadi bilamana
meninggal malam hari, berarti ia sudah makan tiga kali sehingga tidak ada lagi yang
disisakan untuk anak cucunya. Sebagai seorang dokter, usaha maksimal telah
dilakukan terhadap pasien yang sedang sekarat ini. Karena tidak berada dalam ICU,
tentu saja tindakan medis terbatas. Istrinya ikut berusaha “memperpanjang” umur
pasien dengan mengucapkan kata-kata menghimbau agar jangan pergi dulu karena
ada urusan-urusan yang belum selesai. Antara lain ia berucap, “jangan berangkat
dulu, Ayah. Dua anak gadismu belum kawin.”
Pasien ini akhirnya meminggal pada pukul 11.55 WIB. Walaupun pada dinding jam
yang tergantung menunjukkan waktu yang tepat, keluarga yang hadir semuanya
memperhatikan arloji mereka dan jam yang tergantung di dinding. Namun mereka
masih menanyakan dengan cemas jam yang dipakai penulis. Seluruh keluarga yang
hadir merasa tenang sesudah penulis mengatakan bahwa tengah malam telah
dilewati dua menit.
Penulis sering menyaksikan pasien muslim dalam keadaan akan meninggal.
Bilamana keadaan pasien telah jelas dalam keadaan sekarat, maka kerabat dekat
akan menuntun sang pasien agar dapat mengucapkan kata-kata akhir yang
mengingatkan si pasien dengan Allah. Demikiam pula orang-orang Yahudi berusaha
melepaskan jiwa seseorang denagn tenang.
Tanggal 12 Mei yang lalu seorang sintua yang berusaha selesai berkhotbah
dilarikan ke rumah sakit Santa Elisabeth Mandala Medan. Ia mengalami hemiplegi
akibat serangan jantung yang baru diperolehnya. Kesadaran dan tekanan darah
menurun. Serentak dengan serangan jantung berikutnya istri dan anak-anaknya
berteriak-teriak. Setelah puas menangisi jenazah tersebut keluarlah teman baik tadi
menjumpai penulis kembali. Ia berucap, “sebagai orang Batak saya harus menangisi
jenazah famili dengan lantang”. Nampaknya begitulah cara orang Tapanuli
menghadapi orang yang meninggal.
Pada suatu hari di tahun 1960 pembantu kami tidak masuk kerja. Ketika ia
masuk lagi, dikatakannya bahwa suaminya dua hari yang lalu meninggal dunia. Ia
berkisah, “dua hari yang lalu abang yang segar bugar baru saja kembali dari sungai
Penuh, dalam perjalanan kembali ke Padang, ia singgah di kedai kopi di teluk
Kabung. Di tempat ini ia memperoleh dua ekor kambing. Ia sendiri tidak mengenal
orang yang menghadiahkan kambing tersebut sehingga sungguh mengherankan
istrinya. Kemudian ia beristirahat karena merasa pusing. Tak lama kemudian ia
muntah darah lalu meninggal.” Kisah pertukaran sang suami dengan dua ekor
kambing ini berjalan sangat cepat.
Mungkin diantara kita sudah banyak mendengar tradisi janda-janda India.
Seorang India yang dikremasi biasanya ditangisi sang janda. Janda yang setia harus
ikut membakar dirinya (suttee) bersama dengan mayat sang suami. Jika hal ini
tidak terjadi, maka sang janda akan terkucil dari keluarga. Tradisi ini tidak
dipraktekkan lagi sejak perang dunia II. Demikianlah beberapa kasus tentang
pelbagai cara orang menghadapi kematian atau jenazah menurut pelbagai aspek
budaya dan agamanya.

Defenisi Mati

Menurut ilmu kedokteran mati adalah terhentinya fungsi-fungsi “tripod of life”
yaitu jantung, paru-paru dan otak. Dengan memastikan terhentinya sirkulasi darah,
pernafasan dan semua refleks-refleks, maka seorang dinyatakan mati somatis.
Pada tahun 1968 sebuah komisi Ad Hoc pada Harvard Medical School
mempublikasikan kriteria “Barin Death.” Kmisi yang dibentuk oleh presiden Amerika
ini menetapkan kriteria-kriteria seseorang yang dinyatakan “brain Death”. Pada
tahun 1985 Ikatan Dokter Indonesia telah menyatakan bahwa “mati batanmg otak”
(MBO atau Brain Stem Death) sebagai mati secara klinis. Hal ini membuka
kesempatan untuk melakukan praktek teknologi tinggi kedokteran seperti
transplantasi kepada manusia yang membutuhkannya.

Abortus
Salah satu sumpah dokter berbunyi, “saya akan menghormati setiap hidup
insani mulai saat pembuahan.” Sumpah dokter yang berlaku dewasa ini berasal dari
hippocrates (460-377 SM) yang dikenal sebagai sumpah hipokrates. Ada pula
anggapan bahwa hipokrates yang disebut juga sebagai bapak kedokteran sebagai
seorang yang ambivalen. Pada masa hidupnya banyak wanita-wanita mengeluh
padanya bila haid mereka terlambat. Keadaan ini dapat memberi petunjuk awal
kehamilan seorang ibu, akan tetapi mungkin saja sama sekali tidak hamil akibat
gangguan psikis atau faktor-faktor lain. Apa yang dilakukan hipokrates ?
Ia menyarankan wanita tersebut untuk berlari-lari cukup lama. Menurutnya bilamana
haid wanita itu muncul setelah gerakan fisik itu berarti ia tidak hamil. Padahal
gerakan fisik yang minimal kadangkala dapat memutuskan kehamilan seseorang.
Jadi saran hippokrates yang dapat menimbulkan abortus, sesungguhnya berlawana
dengan wujudnya untuk menjaga kelangsungan kehamilan itu sendiri.
Menurut istilah kedokteran, abortus adalah terputusnya kehamilan dibawah
28 minggu atau berat badan janin kurang dari 500 gram. Keadaan ini dapat
berlangsung sendiri (abortus spontaneus) maupun dengan sengaja (abortus
provokatus). Adakalanya abortus provokatus terpaksa dilakukan atas pertimbanganpertimbangan
medis untuk menyelamatkan nyawa si ibu sehingga disebut abortus
therapeuticus atau abortus medicinalis.
Dalam penyelenggaraan kehidupan berkeluarga untuk mewujudkan keluarga sehat,
sejahtera dan berkualitas, semakin lama dan semakin banyak dipraktekkan keluarga
berencana. Semua umat Katolik maupun banyak non Katolik memahami bahwa
pasangan suami-istri (pasutri), Katolik hanya dibenarkan mempraktakkan Keluarga
Berencana Alamiah (KBA).
Sesungguhnya banyak pasutri-pasutri seturju menyelenggarakan KBA akan tetapi
karena pelbagai alasan ditambah lagi sistem KBA itu sendiri tidak dijamin aman,
maka muncullah pelbagai cara, teknik dan pemakaian obat-obatan pencegah
kehamilan. Praktek pemakaian pil, IUD, Menstrual Regulator (MR) dan lain-lainnya
semakin lama semakin banyak. Semua metoda ini jelas-jelas ditolak atau dilarang
pemakaiannya pada pasutri Katolik, seperti diungkapkan dalam berbagai
kesempatan oleh kelompok moralis atau keluarga Katolik lainnya. Sebagai seorang
dokter dan penganut agama Katolik, posisi dan pandangan penulis cukup jelas,
sehingga tidak perlu dipermasalahkan. Akan tetapi sebagai seorang “practici
medicus” penulis ingin memaparkan kasus-kasus di bawah ini sebagai bahan diskusi:
1. Sepasang orangtua membawa putrinya yang berumur 13 tahun kepada
dokter. Ternyata ia dihamili temannya yang juga baru berusia 13 tahun.
Sesungguhnya kedua remaja ini tidak mengerti apa yang telah mereka
lakukan. Kedua orangtua yang kebingungan ini meminta nasehat dokter,
apakah kehamilan dihentikan atau diteruskan dan apa pula dampak psiko
sosialnya.
2. Benih kandungan adalah hasil paduan kasih seorang ibu dan ayah.
Bagaimana keadaannya bila suatu kehamilan adalah akibat perkosaan yang
dilakukan beramai-ramai.
3. Seorang dokter khususnya dokter spesialis kebidanan dan kandungan akan
berusaha menyelamatkan bukan saja stu jiwa, tetapi lebih dari satu yaitu ibu
dan janin. Akan tetapi adakalanya tidak dapat dipertahankan keduanya
sekaligus.
4. Seorang ibu hamil yang menderita penyakit jantung dan sudah
dikonfirmasikan dengan seorang kardiolog tidak mungkin diselamatkan
kedua-duanya oleh tim dokter. Bila hanya satu yang dapat diselamatkan,
siapakah yang harus diselamatkan, ibu atau janin ? Siapa yang berhak
memilih, mengizinkan atau memutuskan ?
Adakalanya seorang bayi lebih berarti dan lebih berharga bagi sang suami
maupun keluarga.

Euthanasia
Euthanasia berasal dari bahasa yunani yaitu euthanamos (Eu = baik, thanos
=mati ).
Dalam bahas inggris sering disebut “ marc killing.” Sedangkan “Encyclkopedia
American “ mencantumkan “ Euthanasia ISSN the practice of eding life in other to
give release from incurable sufferering.” Di negeri Belanda disebutkan bahwa
Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu usaha ( nalaten ) untuk
memperpanjang hidup seseorang pasien atau sengaja tidak melakukan sesuatu
untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seseorang pasien, dan semua ini
dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Pada hakekatnya Euthanasia dibedakan dalam dua jenis :
1. Euthanasia pasif, yaitu tidak membuat sesuatu dalam usaha memperpanjang
hidup.
2. Euthanasia aktif, yaitu tindakan sengaja untuk mempercepat kematian.
Pembedaan lain adalah :
1. Euthanasia positif, yaitu tindakan dan terapi dengan harapan dapat mempercepat
kematian pasien.
2. Euthanasia negatif, yaitu perbuatan yang membiarkan pasien meninggal.pada
keadaan ini dilakukan penghentian terapi yang mungkin dapat mempersingkat
hidupnya, misalnya penghentian pemberian cairan infus, menunda-nunda oprasi
dan lainnya.
Franz magnis suseno membedakan empat arti Euthanasia mengikuti J. Wundeli
(Euthanasia orde Ueber di Wuerde des Sterbens, Stuttgart 1974, 1995.) sebagai
berikut:
1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa
memperpendek kehidupannya. Di situ termasuk semua usaha perawatan
pastoral agar yang bersangkutan dapat meti dengan “baik”. Euthanasia ini
tidak menimbulkan masalah apapun.
2. Euthanasia pasif, yaitu kalau tidak dipergunakan semua kemungkinan teknik
kedokteran yang sebetulnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan.
3. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan
efek sampingan, bahwa pasien barangkali meninggal dengan lebih cepat.
Disini termasuk pemberian segala macam obat narkotika, hipnotika dan
analgetika yang barangkali “ de facto “ dapat memperpendek kehidupan
walaupun hal itu tidak disengaja.
4. Euthanasia aktif (mercy killing), yaitu proses kematian diperingan dengan
memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung. Dalam Euthanasia
aktif masih perlu dibedakan, apakah pasien menginginkannya atau tidak
berada dalam keadaan dimana keinginannya dapat diketahui.
Praktek Euthanasia merupakan tindak kejahatan di Amerika Serikat dan
beberapa negara di Eropa.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia melarang
praktek Euthanasia. Meskipun istilah Euthanasia tidak dicantumkan, namun
pelakunyadapat dijerat dengan pasal-pasal : 338, 340, 344, 345 KUHP.

Euthanasia dalam masyarakat
Praktek-praktek Euthanasia yang dilaporkan dalam berbagai tindakan
masyarakat :
− Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orangorang
tua ke dalam sungai Gangga.
− Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di
zaman purba.
− Uruguay mencantumkan kebebasan praktek Euthanasia dalam undangundang
yang telah berlaku sejak tahun 1933.
− Di beberapa negara Eropa, praktek Euthanasia bukan lagi kejahatan kecuali di
Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian mencantumkan
Euthanasia sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah
melanggar hukum di Amerika Serikat. Setahu penulis satu-satunya negara yang
dapat melakukan tindakan Euthanasia bagi para anggotanya adalah negeri Belanda.
Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan
Euthanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi
anggotanya. Dalam praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan Euthanasia
aktif, akan tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat digolongkan
Euthanasia pasif.

Leminasi buatan (Artificial insemination)
Inseminasi buatan maksudnya adalah dengan memasukkan cairan mani ke
dalam rahim wanita untuk menghasilkan kehamilan (biasanya dengan menggunakan
semprit).
Tindakan ini pada umumnya berhasil dangan baik, tergantung pada keterampilan
dokter. Sejauh ini tidak ada resiko bagi wanita ataupun terdapat cacat pada bayi.
Inseminasi buatan terbagi atas dua jenis :
1. AIH = hemologous artificial insemination atau pembuahan homolog dengan
menggunakan benih dari suami sendiri.
2. AID = hehetologous artificial insemination atau pembuahan homolog dengan
menggunakan benih bukan suami sendiri.
AIH dipraktekkan dengan alasan :
− Adanya kendala-kendala fisik maupun psikis dengan cara inseminasi alamiah.
− Oligospermia.
− Suami mengawtka benihnya sebelu dilakukan vasektomi.
− Mencegah resiko yang ditimbulkan oleh industri, bahan kimia atau radiasi.
− Pemilihan jenis kelamin.
AID dipraktakkan dengan alasan :
− Suami mandul.
− Mencegah kemungkinan penyakit turunan.
− Inkomptabilitas rhesus.
− Oligospermia.
− Wanita tidak menikah menginginkan anak.
− Mengharapkan turunan yang baik.

In Vitro Fertilization (IVF) an Embriyo Transfer (ET).

Louis Brown pada tahun 1978 merupakan bayi tabung pertama di dunia hasil
pembuahan di luar tubuh dengan menempatka kembali mudigah dalam rahim ibunya
(IVF & ET) oleh Dr. Roberts Edwards dan Dr. Patrick Steptoe dari Inggris. Mereka
memberikan harapan bgi pasangan yang selam ini belum berhasil.
Tak lama kemudian lahir lagi seorang bayi perempuan. Menjelang Desember 1980,
sebanyak 278 wanita yang mengikuti program IVF/ET telah melahirkan masingmasing
3 orang bayi. Bayi pertama lahir dari mudigah yang dibekukan (frozen
embryos) telah kahir pada tahun 1984.
Praktek IVF/ET kebanyakan dilakukan untuk percobaan-percobaan
abortifacients (bahan-bahan yang dapat menimbulkan abortus), zat kontraseptif dan
banyak lagi alasan untuk percobaan, antara lain untuk maksud ET.
Praktek dilakukan dengan alasan gangguan kehamilan, juga ibu-ibu yang tidak dapat
melahirkan atau tidak berkeinginan melahirkan anaknya. Seperti halnya IVF, ET
dilakukan atas pertimbangan-pertimbangan eugenik, seperti pengawasan penyakitpanyakit
tertentu, penentuan jenis kelamindan tujuan-tujuan tertentu lainnya.

Transplantasi Organ
Kemajuan biomedis dan teknologi kedokteran semakin memungkinkan
transplantasi organ-organ tubuh manusia. Praktek transplantasi kornea mata dan
ginjal sudah lazim dilakukan dengan sukses.
Baby Fae segera sesudah kelahirannya memperoleh jantung kera (baboon) untuk
menggantikan jantungnya yang cacat. Tentu saja dapat dipindahkan pula dari
jantung seorang bayi yang tidak memiliki otak (anensefali).

Bedah Plastik
Bidang kedokteran bedah, khususnya bedah plastik, mengalami
perkembangan yang pesat. Ahli-ahli bedah plastik tidak hanya menyembuhkan cacat
tubuh pasien mereka saja, tetapi juga psikisnya. Bedah plastik dapat memperbaiki
cacat sekesil apapun dari tubuhnya hingga merubah wajah orang.

KESIMPULAN
Praktek abortus pada hakekatnya tidak diinginkan dalam dunia kedokteran,
meskipuan tidak dapat dihindarkan atas berbagai pertimbangan.
Euthanasia, khususnya Euthanasia aktif merupakan tindak pidana dan tidak
dipraktekkan. Akan tetapi tindakan yang menyerupai Euthanasia pasif terjadi juga
atas berbagai pertimbangan.
Dalam bidang reproduksi manusia, praktek inseminasi buatan, In VItro and Embryo
Transfer merupakan alternatif yang memungkinkan bagi yang membutuhkannya.
Demikian pula halnya dengan bedah plastik dapat dilakukan dengan penuh
keterampilan.
Lampiran I

Lafal sumpah dokter.
Salah satu sumbanagan paling besar dari kedokteran Yunani purba adalah
kesadaran akan moral yang tinggi dari profesi kedokteran dan dikenal dengan
Sumpah Hippokrates. Dari sumpah Hippokrates ini berkembang lafal sumpah dokter
yang pada dasarnya seragam di berbagai negara.
Pada September tahun 1948 World Medical Association menerima lafal yang seragam
dalam sidangnya di Jenewa.
Pernyataan hasil Muktamar Ikatan Dokter Indonesia Sedunia itu kemudian diterima
di Sydney pada Agustus 1968. Pernyataan tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’a Departemen Kesehatan
RI dan Panitia Dewan Guru Besar Fakultas Kedokeran Universitas Indonesia.
Kemudia dikukuhkan dengan Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1960 dan pada
Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran ke 2 pada tanggal 14-16 Desember
1981 di Jakarta telah diterima sebagai lafal sumpah dokter Indonesia, yang
berbunyi,
“Demi Allah saya bersumpah, bahwa :
Saya akan membuktikan hidup saya guna kepentingan peri kemanusiaan.
Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur
jabatan kedokteran.
Saya akan melaksanakan tugas saya dengan cara yang yerhormat dan
bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter.
Saya akan menjalankan tugas saya dengan mengutamakan kepentingan
masyarakat.
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan
saya dan keilmuan saya sebagai dokter.
Saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk
sesuatu yang bertentangan dengan peri kemanusiaan sekalipun diancam.
Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan.
Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita.
Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak
terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan,
perbedaan kelamin, politik kepartaian atau kedudukan sosial dalam
menunaikan kewajiban terhadap penderita.
Saya akan memberika kepada guru-guru saya dan bekas guru-guru saya
pernyataan terima kasih yang selayaknya.
Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagaimana saya sendiri
ingin diperlakukan.
Saya akan menaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan
mempertaruhkan kehormatan diri saya.”

Lampiran II
Beberapa pasal dalam KUHP yang menyangkut abortus.
Pasal 346 :
Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, dihukum
penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal 347 :
(1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungannya seorang perempuan tidak dengan izin perempuan
itu, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
(2) Jika karena perbuatan itu perempuan itu jadi mati, dia dihukum
penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 348 :
(1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungannya seorang perempuan tidak dengan izin perempuan
itu, dihukum penjara selama-lamanya tiga tahun enam bulan.
(2) Jika karena perbuatan itu perempuan itu jadi mati, dia dihukum
penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Pasal 349 :
Jika seorang tabib, dukun beranak atau tukang obat membantu
dalam kejahatan tersebut dalam pasal 36, atau bersalah atau
membantu dalam salah satu kejahatan dalam pasal 347 dan 348,
maka hukuman yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiganya dan dapat dia dipecat dari jabatannya yang
digunakan untuk melakukan kejahatan itu.


Daftar Pustaka
1. Hanafiah, M.Y, Etik Kedokteran, Dahulu, Kini dan Masa Mendatang, diajukan pada
Temu Ilmiah “Dampak Kemajuan Teknologi Kedokteran Terhadap Etika
Moral dan Hukum”, Medan, 30 November 1985.
2. Heuken, A.S.J, Ensiklopedi Etika Medis, Yayasan Cipta Lokakarya, Cetakan
pertama, Jakarta Pusat, 1979.
3. John Paul II, Pope, Evangelium Vitae, L’Osservatore Romano, Vatikan, April 5,
1995.
4. Sacred Congregation For The Doctrine of The Faith Declaration on Euthanasia,
L’Osservatore Romano, June 30, Page 17, Vatikan 1980.
5. Sayo, A.C., Euthanasia, Suatu Masalah Etika, Moral dan Hukum, diajukan pada
Temu Ilmiah “Dampak Teknologi Kedokteran Terhadap Etika, Moral Dasar
Hukum”, Medan, 30 November 1985.
6. Suseno, F.M, Euthanasia dan pertanggungjawaban Etis, Beberapa Pertimbangan
Atas Dasar Etika Katholik (Makalah), Jakarta, 1984.
7. Vaux, K., Birth Ethics-Religious And Cultural Values In The Genesis of Life, The
Crossroad Publishing Company USA, 1989.

0 komentar:

Posting Komentar