Sabtu, 02 Juli 2011

KEPRIBADIAN ISLAM


KEPRIBADIAN ISLAM


PENDAHULUAN
        Psikologi ditafsirkan sebagai pengetahuan tentang tingkah-laku manusia, terutama juga berhubungan dengan pola-pola perkembangan manusia, mulai konsepsi hingga kematangannya, bahkan sampai meninggal dunia. Penyelidikan-penyelidikan membuktikan bahwa potensi-potensi bawaan dan pengaruh-pengaruh lingkungan menentukan bagaimana perkembangan pribadi orang itu. Dengan demikian psikologi berusaha menerangkan aspek-aspek perkembangan   pribadi, dan ini berarti suatu penyelidikan tentang kepribadian.[1]
        Setiap orang dikenali dengan identitas masing-masing, tetapi pengenalan kita terhadap seseorang sering tidak utuh sehingga “siapa dia” yang sebenarnya sesungguhnya tidak dikenali. Ada seorang istri yang sudah hidup serumah dengan suaminya selama belasan tahun, tetapi tetap belum mengenali suaminya secara utuh, dan kemudian pada usia perkawinannya yang ke-20 ia dibuat kaget setelah mengenal “siapa” sebenarnya suaminya itu. Siapa dia seutuhnya dari seseorang itulah yang biasanya disebut sebagai kepribadian, atau syakhshiyyah atau personality. Manusia sebagai makhluk yang berfikir dan merasa memang bisa dibentuk kepribadiannya melalui proses pendidikan, atau tepatnya, bahwa corak perjalanan hidup seseorang sangat besar peranannya dalam membentuk kepribadiannya.[2]
  1. PENGERTIAN KEPRIBADIAN
        Istilah-istilah yang dikenal dalam kepribadian adalah:
  1. Mentality, yaitu situasi mental yang dihubungkan dengan kegiatan mental atau intelektual.
  2. Personality, menurut Wibters Dictionary, adalah: The totality of personality’s characteristic.
  3. Individuality, adalah sifat khas seseorang yang menyebabkan seseorang mempunyai sifat berbeda dari orang lainnya.
  4. Identity, yaitu sifat kedirian sebagai suatu kesatuan dari sifat-sifat mempertahankan dirinya terhadap sesuatu dari luar.[3]
        Kepribadian adalah sebuah konsep yang sangat sukar dimengerti dalam psikologi, meskipun istilah ini digunakan sehari-hari. Di bawah ini akan dikemukakan sederetan definisi dari berbagai sarjana sekedar untuk menggambarkan berapa luasnya pengertian yang dicakup oleh istilah tersebut.
  1. Definisi anekawarna : “Kepribadian adalah kumpulan pembawaan biologis berupa dorongan, kecenderungan, selera, dan instink yang dicampuri dengan sifat dan kecenderungan yang didapat melalui pengalaman yang terdapat pada diri seseorang”. (Morton Prince,1924).
  2. Definsi integratif dan konfiguratif yang menekankan pada pengorganisasian sifat-sifat yang ada pada pribadi seseorang :” Keseluruhan organisasi yang terdapat pada diri manusia, pada setiap perkembangannya”(Warren danCarmichael,1930).
  3. Definisi hirarkis : “Tingkatan sifat-sifat di mana biasanya sifat yang tinggi tingkatnya mempunyai pengaruh yang menentukan”(McDougall dan kawan-kawan,1930).
  4. Definisi penyesuaian diri : “Integrasi daripada sistim kebiasaan-kebiasaan yang menunjukkan cara khas pada individu untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya”(E.Y.Kempf,1921).
      Dengan mempertimbangkan definisi-definisi di atas, Gordon W.Allport (1961) mengajukan sebuah definisi, yang dianggap paling lengkap : “Kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu yang terdiri dari sistem-sistem psiko-fisik yang menentukan cara penyesuaian diri yang unik (khusus) dari individu tersebut terhadap lingkungannya”.[4]
  1. KEPRIBADIAN DALAM WACANA ISLAM
        Dalam Islam, istilah kepribadian (personality) dalam studi keislaman lebih dikenal dengan term al-syakhshiyah. Syakhshiyah berasal dari kata syakhsh yang berarti “pribadi”. Kata itu kemudian diberi ya nisbah sehingga menjadi kata benda buatan (mashdar shina’iy) syakhshiyah yang berarti “kepribadian”.
        Dalam literatur keislaman, terutama pada khazanah klasik abad pertengahan, kata syakhshiyah(sebagai padanan dari kepribadian) kurang begitu dikenal. Terdapat beberapa alasan mengapa term itu tidak dikenal: (1) dalam Alquran maupun al-Sunnah tidak ditemukan term syakhshiyah, kecuali dalam beberapa hadis disebutkan term syakhs yang berarti pribadi, bukan kepribadian;(2) dalam khazanah Islam klasik, para filusuf maupun sufi lebih akrab menggunakan istilah akhlak. Penggunaan istilah ini karena ditopang oleh ayat Alquran dan Hadis Rasul;(3) term syakhshiyah hakikatnya tidak dapat mewakili nilai-nilai fundamental Islam untuk mengungkap suatu fenomena atau prilaku batihan manusia. Artinya, term syakhshiyah yang lazim dipakai dalam Psikologi Kepribadian Barat aksentuasinya lebih pada deskripsi karakter, sifat, atau perilaku unik individu, sementara term akhlak lebih menekankan pada aspek penilaiannya terhadap baik-buruk suatu tingkah laku. Syakhshiyah merupakan akhlak yang didevaluasi (tidak dinilai baik-buruknya), sementara akhlak merupakan syakhshiyah yang dievaluasi.
        Dalam literatur keislaman modern, term syakhshiyah telah banyak digunakan untuk menggambarkan dan menilai kepribadian individu. Sebutan syakhshiyah al-muslim memiliki arti kepribadian orang Islam. Pergeseran makna ini menunjukkan bahwa term syakhshiyah telah menjadi kesepakatan umum untuk dijadikan sebagai padanan dari personality. Yusuf Murad menyebut dua istilah yang terkait dengan kepribadian. Pertama, istilah al-syakhshiyah al-iniyah atau al-syakhshiyah al-zatiyah untuk mendeskripsikan kepribadian yang tampak dari perspektif diri sendiri; Kedua, istilah al-syakhshiyah al-maudhu’iyah atau al-syakhshiyah al-khalq untuk mendeskripsikan kepribadian yang tampak dari perspektif orang lain, sebab kepribadian individu menjadi objek penggambaran.
Term lain yang tidak kalah populernya adalah term akhlak. Secara etimologis, akhlak berarti character, disposition dan moral constitution. Al-Gazali berpendapat bahwa manusia memiliki citra lahiriah yang disebut dengan khalq, dan citra bathiniyah yang disebut dengan khulq. Khalq merupakan citra fisik manusia, sedang khulq merupakan citra psikis manusia. Berdasarkan kategori ini, khulq secara etimologi memiliki arti gambaran atau kondisi kejiwaan seseorang tanpa melibatkan unsur lahirnya.
        Al-Gazali lebih lanjut menjelaskan bahwa khulq adalah “suatu kondisi dalam jiwa yang suci, dan dari kondisi itu tumbuh suatu aktivitas yang mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu”. Sedangkan Ibnu Miskawaih mendefinisikan khulq dengan “suatu kondisi jiwa yang menyebabkan suatu aktivitas dengan tanpa dipikirkan atau dipertimbangkan terlebih dahulu. Al-Jurjawiy mengemukakan bahwa akhlak itu hanya mencakup kondisi batiniah, bukan kondisi lahiriah. Misalnya, orang yang memiliki akhlak pelit bisa juga ia banyak mengeluarkan uangnya untuk kepentingan riya’, boros, dan sombong. Sebaliknya, orang yang memiliki akhlak dermawan bisa jadi ia menahan mengeluarkan uangnya demi kebaikan dan kemaslahatan.
        Apabila maksud jiwa dalam definisi akhlak di atas mencakup psikofisik, term khulq dapat dijadikan sebagai padanan term personality. Namun, apabila maksud jiwa sebatas pada kondisi batin term khulq tidak dapat dijadikan padanan personality, sebab personality mencakup kepribadian lahir dan batin. Oleh karena ambiguitas makna ini maka diperlukan definisi lain yang dapat mengcoper hakikat khulq sesungguhnya.
        Manshur Ali Rajab memberi batasan khulq dengan al-tab’u dan al-sajiyah.Tab’u (karakter) adalah citra batin manusia yang menetap. Citra ini terdapat pada konstitusi manusia yang diciptakan oleh Allah sejak lahir. Sedangkan sajiyah adalah kebiasaan manusia yang berasal dari hasil integrasi antara karakter manusiawi dengan aktivitas-aktivitas yang diusahakan. Kebiasaan ini ada yang teraktualisasi menjadi suatu tingkah laku lahiriah dan ada juga yang masih terpendam.
        Menurut Muhammad ‘Imad Al-Din Ismail, terminologi akhlak dan syakhshiyah dalam literatur klasik digunakan secara bergantian, karena memiliki makna satu. Namun dalam literatur modern, keduanya dibedakan karena memiliki konotasi makna. Akhlak merupakan usaha untuk mengevaluasi kepribadian, atau evaluasi sifat-sifat umum yang terdapat pada perilaku pribadi dari sudut baik-buruk, kuat-lemah dan mulia-rendah. Sementara syakhshiyah tidak terkait dengan diterima atau tidaknya suatu tingkah laku, sebab di dalamnya tidak ada unsur-unsur evaluasi.[5]
  1. STUKTUR KEPRIBADIAN DALAM ISLAM
        Struktur adalah “komposisi pengaturan bagian-bagian komponen, dan susunan suatu kompleks keseluruhan”. James P.Chaplin mendefinisikan stuktur dengan “satu organisasi permanen, pola atau kumpulan unsur-unsur yang bersifat relatif stabil, menetap dan abadi”. Para psikolog menggunakan istilah ini untuk menunjukkan pada proses-proses yang memiliki stabilitas. Struktur kepribadian memiliki arti “integrasi dari sifat-sifat dan sistem-sistem yang menyusun kepribadian”. Atau lebih tepatnya “aspek-aspek kepribadian yang bersifat relatif stabil, menetap, dan abadi serta merupakan unsur-unsur pokok pembentukan tingkah laku individu.”
        Pada pengertian tersebut menunjukkan tiga elemen pokok, yaitu pertama, struktur kepribadian adalah suatu komponen yang mesti ada dalam setiap pribadi, yang menentukan konsep “kepribadian” sebenarnya; kedua, eksistensi struktur dalam kepribadian manusia memiliki ciri relatif stabil, menetap dan abadi. Maksud dari ciri ini adalah bahwa secara proses psikologis aspek-aspek yang terdapat pada kepribadian itu memiliki natur menetap sesuai dengan irama dan pola perkembangannya. Secara potensial masing-masing aspek kepribadian ini menetap dan tidak ada perubahan, tapi secara aktual aspek-aspek ini berubah sesuai dengan lingkungan yang mempengaruhinya. Pola seperti ini merupakan ketantuan yang ditetapkan oleh Tuhan; ketiga, kepribadian seseorang merupakan wujud konkret dan aktualisasi dari proses integrasi sistem-sistem atau aspek-aspek struktur. Proses stuktur yang bersifat psikologis (batiniah) terekspresi dalam pola-pola tingkah laku, seperti berpikir, bertindak, berperasaan, dan sebagainya.
        Menurut Sigmund Freud (1856-1939), seorang bapak psikolog dari aliran Psikoanalisa, kepribadian seseorang terstruktur atas tiga sistem pokok, yaitu:
  1. Id (das es) adalah sistem kepribadian biologis yang asli, berisikan sesuatu yang telah ada sejak lahir. Ia merupakan reservoir energi psikis yang menyediakan seluruh daya untuk sistem ego dan super ego. Freud menyebut ide dengan the true psychis reality (kenyataan psikis yang sebenarnya), karena id mempresentasikan dunia batin pengalaman subjektif dan tidak mengenal kenyataan objektif. Prinsip kerjanya adalah serba mengejar kenikmatan (pleasure principle) yang cenderung bersifat rasional, primitif, impulsif, dan agresif. Untuk menghindari ketidaknikmatan maka id mempunyai dua cara: pertama, refleks, yaitu reaksi-reaksi otomatis dalam tubuh, misalnya bersin, berkedip, dan sebagainya; kedua, proses primer, yaitu reaksi psikologis yang menghentikan tegangan melalui khayalan, seperti orang lapar membayangkan makanan.
  2. Ego (das ich) adalah aspek psikologis kepribadian yang timbul karena kebutuhan organisme memerlukan transaksi dengan kenyataan objektif. Ego mengikuti prinsip kenyataan (reality principle) yang bersifat rasional-logis dan reaksinya menurut proses sekunder. Tujuan prinsip ini adalah mencegah terjadinya ketegangan sampai ditemukan suatu objek yang cocok untuk pemuasan kebutuhan. Ego disebut eksekutif kepribadian, karena ia mengontrol tindakan, memilih lingkungan untuk memberi respons, memuaskan insting yang dikehendaki dan berperan sebagai arbitrator atau pengendali konplik antara id dan super ego.
  3. Super ego (das ueber ich) adalah aspek-aspek sosiologis kepribadian yang mengintegrasikan nilai-nilai moral dan cita-cita luhur. Ia mencerminkan yang ideal bukan riil, mengejar kesempurnaan dan bukan kenikmatan. Perhatian utamanya adalah membedakan yang benar dan yang salah dan memilih yang benar. Timbulnya super ego ini bersumber dari suara hati (conscience) sehingga fungsinya; (1) merintangi impuls-impuls id, terutama impuls-impuls seksual dan agresif yang aktualisasinya sangat ditentang masyarakat;(2) mendorong ego untuk lebih mengejar hal-hal yang moralitas daripada realistik;(3) mengejar kesempurnaan. Jadi super ego menentang ukuran baik-buruk id ataupun ego, dan membuat dunia menurut gambarannya sendiri yang tidak rasional bahkan manunda dan merintangi pemuasan insting.[6]
        Dalam Islam, penentuan struktur kepribadian tidak dapat terlepas dari pembahasan substansi manusia, sebab dengan pembahasan substansi tersebut dapat diketahui hakikat dan dinamika prosesnya. Substansi manusia terdiri atas jasad dan ruh. Masing-masing aspek yang berbeda naturnya ini pada prinsipnya saling membutuhkan. Jasad tanpa ruh merupakan substansi yang mati, sedang ruh tanpa jasad tidak dapat teraktualisasi. Karena saling membutuhkan, diperlukan sinergi antara keduanya, yang dalam terminologi Psikologi Islam disebut dengan nafs.
  1. Substansi Jasmani
        Jasad (jisim) adalah substansi manusia yang terdiri atas struktur organisme fisik manusia lebih sempurna dibanding dengan organisme fisik makhluk-makhluk lain. Setaip makhluk biotik-lahiriah memiliki unsur material yang sama, yakni terbuat dari unsur tanah, api, udara, dan air. Keempat unsur di atas merupakan materi yang abiotik (mati). Ia akan hidup jika diberi energi kehidupan yang bersifat fisik (thaqah al-jismiyah). Energi kehidupan ini lazimnya disebut dengan nyawa, karena nyawa manusia hidup. Ibnu Miskawih dan Abu Al-Hasan Al-Asy’ary menyebut energi tersebut dengan al-hayah (daya hidup), sedang Al-Gazali menyebutnya dengan al-ruh jasmaniyah (ruh material). Dengan daya ini, jasad manusia dapat bernapas, merasakan sakit,panas-dingin, pahit-manis, haus-lapar, seks dan sebagainya. Al-hayat berbeda dengan al-ruh, sebab ia ada sejak adanya sel kelamin, sedang al-ruh menyatu dalam tubuh manusia setelah embrio berusia empat bulan dalam kandungan. Ruh bersifat substansi (jauhar) yang hanya dimiliki manusia, sedang nyawa merupakan sesuatu yang baru (‘aradh) yang juga dimiliki oleh hewan.[7]
  1. Substansi Ruhani
        Ruh merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi kehidupannya. Sebagian ahli menyebut ruh sebagai badan halus (jisim lathif), ada yang substansi sederhana (jauhar basith), dan ada juga substansi ruhani (jauhar ruhani). Ruh yang menjadi pembeda antara esensi manusia dengan esensi makhluk lain. Ruh berbeda dengan spirit dalam terminologi psikologi, sebab term ruh memiliki arti jauhar (subtance) sedang spirit lebih bersifat ‘aradh (accident).
        Ruh adalah substansi yang memiliki natur tersendiri. Menurut Ibnu Sina, ruh adalah kesempurnaan awal jisim alami manusia yang tinggi yang memiliki kehidupan dengan daya. Sedang bagi A-Farabi, ruh berasal dari alam perintah (amar) yang mempunyai sifat berbeda dengan jasad. Hal itu dikarenakan ia dari Allah, kendatipun ia tidak sama dengan zat-Nya. Sedang menurut Al-Gazali, ruh ini merupakan latifah (sesuatu yang halus) yang bersifat ruhani. Ia dapat berpikir, mengingat, mengetahui dan sebagainya. Ia juga sebagai penggerak bagi keberadaan jasad manusia. Sifatnya gaib. Sedangkan Ibnu Rusyd memandang ruh sebagai citra kesempurnaan awal bagi jasad alami yang organik. Kesempurnaan awal ini karena ruh dapat dibedakan dengan kesempurnaan yang lain yang merupakan pelengkap dirinya, seperti yang terdapat pada berbagai perbuatan. Sedangkan disebut organik karena ruh menunjukkan jasad yang terdiri dari organ-organ.
        Fitrah ruh multidimensi yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Ruh dapat keluar masuk ke dalam tubuh manusia. Ruh hidup sebelum tubuh manusia ada (QS Al-A’raf (7):172, Al-Ahzab(33):72). Kematian tubuh bukan berarti kematian ruh. Ruh masuk pada tubuh manusia ketika tubuh tersebut siap menerimanya. Menurut hadis nabi, bahwa kesiapan itu ketika manusia berusia empat bulan dalam kandungan. Pada saat inilah ruh berubah nama menjadi al-nafs (gabungan antara ruh dan jasad).
        Di alam arwah (sebelum bersatunya ruh dengan jasad), sebagaimana QS Al-A’raf(7):172, Allah swt, telah mengadakan perjanjian primordial dengan ruh,yang mana perjanjian itu merupakan natur aslinya.
        Pembahasan tentang ruh dibagi menjadi dua bagian: pertama, ruh yang berhubungan dengan zatnya sendiri; dan kedua, ruh yang berhubungan dengan badan jasmani. Ruh yang pertama disebut dengan al-munazzalah, sedang yang kedua disebut dengan al-garizah, atau disebut dengan nafsaniah. Ruh al-munazzalah berkaitan dengan esensi asli ruh yang diturunkan atau diberikan secara langsung dari Allah swt. kepada manusia. Ruh ini esensinya tidak berubah, sebab jika berubah berarti berubah pula eksistensi manusia.[8]
  1. Substansi Nafsani
        Nafs dalam khazanah Islam memiliki banyak pengertian. Nafs dapat berarti jiwa, nyawa, ruh, konasi yang berdaya syahwat dan gadhab, kepribadian,dan substansi psikofisik manusia. Maksud nafs dalam bahasan ini adalah dalam pengertian yang terakhir. Pada substansi nafs ini, komponen jasad dan ruh bergabung. Nafs adalah potensi jasad-ruhani (psikofisik) manusia yang secara inhern telah ada sejak manusia siap menerimanya. Potensi ini terikat dengan hukum yang bersifat jasadi-ruhani. Semua potensi yang terdapat pada nafs bersifat potensial, tetapi dapat aktual jika manusia mengupayakan.
        Substansi nafs memiliki potensi garizah. Jika potensi garizah ini dikaitkan dengan substansi jasad dan ruh, dapat dibagi menjadi tiga bagian;(1) al-qalb yang berhubungan dengan rasa atau emosi;(2) al-aql yang berhubungan dengan cipta atau kognisi; dan (3) daya al-nafs yang berhubungan dengan karsa atau konasi. Ketiga potensi tersebut merupakan subsistem nafs manusia yang dapat membentuk kepribadian.
  1. Qalbu
        Qalbu merupakan materi organik yang memiliki sistem kognisi yang berdaya emosi. Al-Gazali secara tegas melihat qalbu dari dua aspek, yaitu qalbu jasmani dan qalbu ruhani. Qalbu jasmani adalah daging sanubari yang berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di dalam dada sebelah kiri. Qalbu ini lazimnya disebut jantung (heart). Sedangkan qalbu ruhani adalah sesuatu yang bersifat halus (lathif), rabbani, dan ruhani yang berhubungan dengan qalbu jasmani. Bagian ini merupakan esensi manusia. Al-Gazali berpendapat bahwa qalbu ini memiliki insting yang disebut dengan al-nur al-ilahiy(cahaya ketuhanan) dan al-bashirah al-batinah (mata batin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan.[9]
  1. Akal
        Secara etimologi, akal memiliki arti al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan), al-hajr (menahan), al-nahy (melarang), dan man’u (mencegah). Berdasarkan makna bahasa ini maka yang disebut orang yang berakal (al-‘aqil) adalah orang yang mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya. Jika hawa nafsunya terikat jiwa rasionalitasnya mampu bereksistensi.
        Akal merupakan organ tubuh yang terletak di kepala (lazimnya disebut dengan otak (al-dimagh) yang memiliki cahaya (al-nur) nurani dan dipersiapkan dan mampu memperoleh pengetahuan (al-ma’rifah) dan kognisi (al-mudrikat). Akal juga diartikan sebagai enegi yang mampu memperoleh, menyimpan dan mengeluarkan pengetahuan. Akal mampu mengantarkan manusia pada substansi humanistik (zat insaniyah). Atau potensi fitriah yang memiliki daya-daya pembeda antara hal-hal yang baik dan yang buruk, yang berguna dan yang membahayakan. Pengertian di atas dapat dipahami bahwa akal merupakan daya berpikir manusia untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat rasional dan dapat menentukan eksistensi manusia.[10]
  1. Nafsu
        Nafsu adalah daya nafsani yang memilliki dua kekuatan, yaitu kekuatan al-ghadhabiyah dan al-syahwaniyah. Al-ghadhab adalah suatu daya yang berpotensi untuk menghindari diri dari segala yang membahayakan. Ghadhab dalam terminologi psikoanalisa disebut dengan defence (pertahanan, pembelaan dan penjagaan), yaitu tingkah laku yang berusaha membela atau melindungi ego terhadap kesalahan, kecemasan, dan rasa malu; perbuatan untuk melindungi diri sendiri dan memanfaatkan dan merasionalisasikan perbuatannya sendiri. Al-syahwat adalah suatu daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala yang menyenangkan. Syahwat dalam terminologi psikologi disebut dengan appetite, yaitu suatu hasrat (keinginan, birahi, hawa nafsu), motif atau impuls berdasarkan perubahan fisiologi.
       Prinsip kerja nafsu mengikuti prinsip kenikmatan (pleasure principle) dan berusaha mengumbar impuls-impuls primitifnya. Apabila impuls-impuls ini tidak terpenuhi maka terjadi ketegangan diri. Prinsip kerja nafsu ini memiliki kesamaan dengan prinsip kerja jiwa binatang, baik binatang buas (al-subu’iyah), maupun binatang jinak (al-bahimiyah). Binatang buas memiliki impuls agresif (menyerang), sedangkan binatang jinak memiliki impuls seksual. Oleh karena prinsip inilah maka nafsu disebut juga fithrah hayawaniyah.
       Nafsu dalam terminologi psikologi lebih dikenal dengan sebuah konasi (daya karsa). Konasi (kemauan) adalah bereaksi, berbuat, berusaha, berkemauan, dan berkehendak. Aspek konasi kepribadian ditandai dengan tingkah laku yang bertujuan dan impuls untuk berbuat. Nafsu menunjukkan struktur di bawah-sadar dari kepribdian manusia. Apabila manusia mengumbar dominasi nafsunya maka kepribadiannya tidak akan mampu bereksistensi, baik di dunia apalagi di akhirat. Manusia model ini memiliki kedudukan sama dengan binatang bahkan lebih hina (Q.S Al-A’raf [7]:179).
        Melalui pemetaan di atas, struktur kejiwaan manusia (nafsani) bersumber dari peran-peran ruh dan jasad, dengan berbagai naturnya. Tingkatan kepribadian manusia sangat tergantung kepada substansi mana yang lebih dominan menguasai dirinya.[11]
  1. DINAMIKA KEPRIBADIAN ISLAM
       Berdasarkan struktur di atas, kepribadian dalam Psikologi Islam adalah “integrasi sistem kalbu, akal,dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku”. Meskipun defenisi ini amat sederhana, namun memiliki konsep yang mendalam.
       Substansi nafsani manusia memiliki tiga daya, yaitu; (1) kalbu (fitrah ilahiyah) sebagai aspek supra-kesadaran manusia yang memiliki daya emosi (rasa); (2) akal (fitrah insaniyah) sebagai aspek kesadaran manusia yang memiliki daya kognisi (cipta); dan (3) nafsu (fitrah hayawaniyah) sebagai aspek pra atau bawah-kesadaran manusia yang memiliki daya konasi (karsa). Ketiga komponen nafsani ini berintegrasi untuk mewujudkan suatu tingkah laku. Kalbu memiliki kecenderungan natur ruh, nafs (daya syahwat dan gadhab) memiliki kecenderungan pada natur jasad, sedang akal memiliki kecenderungan antara ruh dan jasad. Dari sudut tingkatannya, kepribadian itu merupakan integrasi dari aspek-aspek supra-kesadaran (fitrah ketuhanan), kesadaran (fitrah kemanusiaan), dan pra atau bawah-kesadaran (fitrah kebinatangan). Sedang dari sudut fungsinya, kepribadian merupakan integrasi dari daya-daya emosi, kognisi, dan konasi, yang terwujud dalam tingkah laku luar (berjalan, berbicara, dan sebagainya) maupun tingkah laku dalam (pikiran, perasaan, dan sebagainya).[12]
  1. Kepribadian Ammarah (nafs al-ammarah)
        Kepribadian ammarah adalah kepribadian yang cenderung pada tabiat jasad dan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan. Ia menarik kalbu manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga ia merupakan tempat dan sumber kejelekan dan tingkah laku yang tercela. Firman Allah swt:ان النفس لأمارة بالسوء الا ما رحم ربى
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyerukan pada perbuatan buruk, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku (QS. Yusuf:53)”
       Kepribadian ammarah adalah kepribadian di bawah sadar manusia. Barangsiapa yang berkepribadian ini maka sesungguhnya ia tidak lagi memiliki identitas manusia, sebab sifat-sifat humanitasnya telah hilang. Kepribadian model ini rela menurunkan derajat asli manusia. Manusia yang berkepribadian ammarah tidak saja dapat merusak dirinya sendiri, tetapi juga merusak diri orang lain. Keberadaannya ditentukan oleh dua daya, yaitu (1) daya syahwat yang selalu menginginkan birahi, kesukaan diri, ingin tahu dan campur tangan urusan orang lain, dan sebagainya; (2) daya gadhab yang selalu menginginkan tamak, serakah, mencekal, berkelahi, ingin menguasai yang lain, keras kepala, sombong, angkuh, dan sebagainya. Jadi orentasi kepribadian ammarah adalah mengikuti sifat-sifat binatang.[13]
  1. Kepribadian lawwamah (nafs al-lawwamah)
        Kepribadian lawwamah adalah kepribadian yang telah memperoleh cahaya kalbu, lalu ia bangkit untuk memperbaiki kebimbangannya antara dua hal. Dalam upayanya itu kadang-kadang tumbuh perbuatan yang buruk yang disebabkan oleh watak zulmaniyah (gelap)-nya namun kemudian ia di diingatkan oleh nur ilahi, sehingga ia mencela perbuatannya dan selanjutnya ia bertaubat dan beristigfar. Hal itu dapat dipahami bahwa kepribadian lawwamah berada dalam kebimbangan antara kepribadian ammarah dan kepribadian muthmainnah Firman Allah swt:
ولا اقسم بالنفس اللوامة 
   Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali ( QS.al-Qiyamah:2)
       Kepribadian lawwamah merupakan kepribadian yang didominasi oleh komponen akal. Sebagai komponen yang bernatur insaniah, akal mengikuti prinsip kerja rasionalistik dan realistik yang membawa manusia pada tingkat kesadaran. Apabila sistem kendalinya berfungsi maka ia mampu mencapai puncaknya seperti berpaham rasionalisme. Rasionalisme banyak dikembangkan oleh kaum humanis yang mengorentasikan pola pikirnya pada kekuatan serba manusia, sehingga sifatnya antroposentris.
       Oleh karena kedudukan yang tidak stabil ini maka Ibnu Qayyim al-Jauziyah membagi kepribadian lawwamah menjadi dua bagian, yaitu: (1) Kepribadian lawwamah malumah, yaitu kepribadian lawwamah yang bodoh dan zalim; (2) Kepribadian lawwamah ghayr malumah, yaitu kepribadian yang mencela atas perbuatannya yang buruk dan berusaha untuk memperbaikinya.[14]

  1. Kepribadian Muthmainnah (nafs al-Muthmainnah)
        Kepribadian muthmainnah adalah kepribadian yang telah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini selalu berorentasi ke komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang. Begitu tenangnya kepribadian ini sehingga ia dipanggil oleh Allah swt :ياأيتهاالنفس المطمئنة-ارجعى الى ربك راضية مرضية
Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya (QS.al-Fajr: 27-28)
       Kepribadian mutmainnah bersumber dari kalbu manusia. Sebab hanya kalbu yang mampu merasakan tuma’ninah (QS.Al-Ra’d:28), sebagai komponen yang bernatur ilahiah, kalbu selalu cenderung pada ketenangan dalam beribadah, mencintai, bertaubat, bertawakkal, dan mencari ridha Allah swt. Orientasi kepribadian ini adalah teosentris (QS.al-Nazi’at: 40-41).
       Kepribadian mutmainnah merupakan kepribadian atas-sadar atau supra-kesadaran manusia. Dikatakan demikian sebab kepribadian ini merasa tenang dalam menerima keyakinan fitriah. Keyakinan fitriah adalah keyakinan yang dihujamkan pada ruh manusia (fitrah al-munazzalah) di alam arwah dan kemudian dilegitimasi oleh wahyu ilahi. Penerimaan ini tidak bimbang apalagi ragu-ragu seperti yang dialami oleh kepribadian lawwamah, tetapi penuh keyakinan. Oleh sebab itu ia terbiasa menggunakan metode zawq (cita-rasa) dan ‘ain albashirah (mata batin) dalam menerima sesuatu sehingga ia mersa yakin dan tenang. Al-Gazali menyatakan bahwa daya kalbu (yang mendominasi kepribadian mutmainnah) mampu mencapai pengetahuan (ma’rifah) melalui daya cita-rasa (zawq) dan kasyf (terbukanya tabir misteri yang menghalangi penglihatan batin manusia)
       Kepribadian mutmainnah berbentuk enam kompotensi keimanan,lima kompotensi keislaman, dan multi kompotensi keihsanan. Aktualisasi bentuk-bentuk ini dimotivasi oleh energi psikis yang disebut dengan amanah  yang dihujamkan Allah swt. Di alam arwah (ruh al-Munazzalah). Realisasi amanah selain berfungsi memenuhi kebutuhan juga melaksanakan kewajiban jiwa. Dikatakan kebutuhan sebab jika tidak direalisasikan maka mengakibatkan kecemasan, kegelisahan, dan ketegangan, dan dikatakan kewajiban sebab pelaksanaannya telah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan.[15]

SIMPULAN
  1. Istilah kepribadian (personality) dalam studi keislaman lebih dikenal dengan term alsyakhsiyah.
  2. Dalam pandangan Islam, kepribadian merupakan interaksi dari kualitas-kualitas nafs, qalb, aql, bashurah, interaksi antara jiwa, hati, akal dan hati nurani. Kepribadian disamping bermodal kafasitas fitrah bawaan sejak lahir dari warisan genetika orang tuanya, ia terbentuk melalui proses panjang riwayat hidupnya, proses internalisasi nilai pengetahuan dan pengalaman dalam dirinya.
  3. Seseorang disebut memiliki kepribadian muslim manakala ia dalam mempersepsi sesuatu, dalam bersikap terhadap sesuatu dikendalikan oleh pandangan hidup muslim

DAFTAR PUSTAKA



Abdul Mujib dan Jusuf Muzakkir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002

An-Najjar, Amir, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, Jakarta : Pustaka Azzam, 2001

Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004

Mubarak, Achmad, Psikologi Qur’ani, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001

Netty Hartati, dkk, Islam dan Psikologi, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,2004

Noor, M.Hs, Himpunan Istilah Psikologi, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1997

Patty,F, Pengantar Psikologi Umum, Surabaya : Usaha Nasional, 1982

Sarwono, Sarlito Wirawan, Pengantar Umum Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1982


        [1] F. Patty.dkk. Pengantar Psikologi Umum,(Surabaya: Usaha Nasional, 1982), h. 142
        [2] Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, (Jakarta: Pustaka Firdaus,2001), h. 82
        [3] Jalaluddin, Psikologi Agama,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2004), h.165-166
        [4] Sarlito Wirawan Sarwono,Pengantar Umum Psikologi,(Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h.87-88. Lihat juga M.Noor HS, Himpunan Istilah Psikologi,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997) pada hurup K
        [5] Netty Hartati,dkk. Islam dan Psikologi,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 124-127.
        [6] Ibid, h. 141-143.
        [7] Ibid, h. 148-149
        [8] Ibid, h. 150-152, Bandingkan dengan pendapat At-Tirmizi yang memiliki tiga pendapat mengenai jiwa, yaitu: (1)An-Nafs (jiwa) bermakna nafas yang dapat memberikan hidup, dimana nafas itu terpancar dari ruh, seperti meluapnya sesuatu dari atas ke bawah;(2) An-Nafs sebagai garizah (insting) yang dihiasi oleh setan dengan segala bentuk tipu daya, yang bertujuan untuk menang dan merusak. Dalam posisi ini jiwa sangat lemah dihadapan setan;(3)An-Nafs sebagai teman dan penolong setan, dan jiwa semacam ini ikut serta didalam kejahatan, bahkan merupakan bagian dari kejahatan itu sendiri. Amir An-Najar,Ilmu Jiwa dalam Tasawuf,(jakarta: Pustaka Azzam,2001),h. 39.
        [9] Ibid, h.153-154
       [10] Ibid, h.158-159
        [11] Ibid, h.161-162. Lihat juga Bdul Mujib dan Jusuf Muzakkir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2002), h. 37-57.
        [12] Abdul Mujib dan Jusuf Muzakkir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 58.
       [13] Ibid, h. 63.
       [14] Ibid, h. 64-65
       [15] Ibid, h. 66-67

0 komentar:

Posting Komentar