Sabtu, 02 Juli 2011

MAHKUM FIH


MAHKUM FIH

  1. PENGERTIAN MAHKUM FIH
Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul menggunakan istilah mahkum fih, karena di dalam perbuatan atau peristiwa itulah ada hukum, baik hukum wajib maupun yang hukum haram. Sebagian ulama lainnya menggunakan istilah mahkum bih, karena perbuatan mukallaf itu bisa disifati dengan hukum , baik bersifat yang diperintahkan maupun yang dilarang.[1]
Para ulama ushul fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih (المحكوم فيه ) adalah objek hukum, yaitu perbuatan yang bersifat tuntutan mengerjakan;tuntutan meninggalkan suatu pekerjaan ; memilih suatu pekerjaan ; dan yang bersifat syarat, sebab halangan , `azimah, rukhsah, sah serta batal.[2]
Seluruh titah syar`i  ada objeknya. Objeknya itu adalah perbuatan orang mukallaf. Terhadap perbuatan mukallaf ini ditetapkan suatu hukum , yang berhubungan dengan hukm yang lima, yang masing-masing ialah:
1.      Yang berhubungan dengan ijab, di namai wajib
2.      yang berhubungan dengan nadab dinamai mandub/sunnah.
3.      yang berhubungan dengan tahrim dinamai haram,
4.      yang berhubungan dengan karahah dinamai makruh.
5.      yang berhubungan dengan ibahah dinamai dengan mubah.

Dari kelima hukum tersebut dapatlah dijelaskan sebagai berikut:
1.      wajib; yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan mendapat siksa.
a.       wajib `ain ; ialah yang wajib dikerjakan oleh setiap mukallaf, seperti shalat lima waktu sehari semala dan puasa bulan ramadhan.
b.      wajib kifayah; ialah yang wajib dikerjakan oleh semua mukallaf , tetapi jika sudah ada diantara merekak yang mengerjakan , maka lepaslah kewajiban itu dari yang lainnya, misalnya menayalati  jenazah dan menguburkannya.
2.      Mandub (sunnah) ; yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat siksa atau dosa.
Mandub atau sunnah dibagi 2, yaitu sunnah `ain dan sunnah kifayah.
a.       Sunnah ain; setiap orang dianjurkan mengerjakannya, seperti shalat rawatib , puasa sunnah dan sebagainya.
b.      Sunnah kifayah; ialah suatu pekerjaan yang apabila telah dikerjakan oleh salah seorang dari jema`ah, maka tidak perlu lagi yang lain mengerjakannya, misalnya menjawab salam dalam suatu rombongan.
3.      Haram ; ialah larangan keras, jik dikerjakan berdosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
4.      Makruh; ialah larangan yang tidak keras, jika dilanggar tidak berdosa, tetapi kalau tidak di kerjakan mendapat pahala , seperti makan petai, bawang mentah dan seagainya.
5.      Mubah; ialah sesuatu yang boleh/tidak dikerjakan. Baik  dikerjakan maupun ditinggalkan tidak mendapat pahala maupun dosa, misalnya makan yang halal, berpakaian bagus, tidur dan sebagainya.[3]


Adapun firman Allah swt mengenai lima hukum tersebut yakni:
a.       dalam surah Al-Baqarah 2:43
                                           
“dan dirikanlah olehmu shalat…(Q.S.Al-Baqarah,2:43)
b.      Dalam surah Al-Baqarah ,2:282
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[*] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
[*] Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.

Dalam ayat ini ada anjuran yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf , yaitu menuliskan utang-piutang, maka hukumnya menjadi mandub.
c.       Dalam surat Al-An`am, 6:151

Artinya : …dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar[*]". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).

[*] Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya.

Dalam ayat ini ada larangan yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf , yaitu larangan membunuh, maka membunuh itu hukumnya haram.
d.      Dalam surat Al-Baqarah, 2;267
Artinya “…dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, …”
Dalam ayat ini ada larangan yang tidak tegas yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan menginfakkan harta yang telah buruk-buruk, maka menafkahkan harta yang buruk itu hukumnya makruh.
e.       Dalam surat Al-Jumu`ah , 62:10
Artinya :” apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Ayat ini mengandung kebolehan mencari rezeki setelah melaksanakan shalat, kebolehan ini terkait dengan perbuatan mukallaf, yaitu ibadah. Karena itu, mencari rezeki ini hukumnya mubah.[4]
Tiap-tiap hukum dari hukum-hukum syar`i  itu tidak dapat bersangkut dengan salah satu perbuatan mukallaf dari segi tuntutan , menyuruh pilih atau menempatkan. Dari suatu ketetapan dikatakan bahwa yang diberati itu tidak lain selain dari dengan perbuatan. Artinya hukum syar`i  taklifi itu tidak bersangkut selain dari perbedaan mukallaf.[5] Sebagaimana kita ketahui, bahwa hukum syara` terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1)      Hukum Wadh`i
2)      Hukum Taklifi





[1] Rachmat Syafi`I,Ilmu Ushul Fiqih(Bandung :CV Pustaka Setia ,1999).hlm.317
[2] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (ciputat :PT Logos wacana Ilmu .1995).hlm.292
[3] Moh Rifa`i.Ushul Fiqh(Bandung : PT Al Ma`arif.1973)hlm.19-20
[4] Nasrun Haroen,Ushul Fiqh(Ciputat:PT.Logos Wacana Ilmu.1995),Hlm.292
[5] Abdul Wahab Khallaf,Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta :PT Rhineka Cipta ,1995),hlm 155

0 komentar:

Posting Komentar